|
![]()
Liang Kolektif, Dosa Kolektif 19 September 1998 15:07:13 Dalam suatu diskusi terbatas belum lama ini, seorang pembicara muda menyatakan dia tak berhasil menemukan penjelasan rasional yang mendasari pembunuhan masal warga sipil oleh ABRI di Aceh. Karena itu ia curiga penjelasannya harus dicari dari sentimen terhadap suku Aceh. Kesimpulan seperti itu amat tidak meyakinkan, tapi justru dapat memberi pembenaran bagi separatisme. Maksud pembicara itu begini. Pembantaian masal Muslim Bosnia oleh etnis Serbia misalnya, bisa dijelaskan dan dipahami dari dendam sejarah yang memang laten serta nasionalisme sempit etnis Serbia-Bosnia. Pembantaian masal di Rwanda dapat dijelaskan dari rivalitas etnis antara suku Hutu dan Tutsi. Pembunuhan masal oleh rezim Pol Pot di Kamboja dapat dipahami dari ideologi ekstrem radikal kehendak memutar balik sejarah agar melangkah kembali ke masa lalu. Pembunuhan masal oleh rezim Nazi Jerman terhadap warga Yahudi didasari ideologi purifikasi dan superioritas ras Arya.
Tapi pembantaian masal rakyat Aceh oleh
Kenyataan ini juga akan menyangkal dugaan bahwa
pembantaian masal di Aceh itu karena sentimen suku. Orang
Indonesia non-Aceh amat bangga terhadap suku Aceh yang
punya sejarah perjuangan dan semangat kepahlawanan
gilang-gemilang. Lagi pula bukankah komandan Korem yang
membawahi operasi militer waktu itu adalah putera Aceh
sendiri? Bukankah yang mendorong masuknya tentara dari luar
Aceh untuk melakukan operasi militer itu juga para pejabat dari
suku Aceh sendiri?
Tangga promosi
Jadi apa dasar penjelasan tindak kekejaman di Aceh itu?
''Militerisme!'' sahut seorang peserta diskusi. Penjelasannya ada
di sana. Tak ada hubungannya dengan sentimen etnis, tak ada
dendam sejarah. Militerisme selamanya menempatkan dirinya di
atas hukum, sehingga kekejaman apa pun bisa terjadi. Itu yang
terjadi di Aceh, itu juga yang terjadi di Irian, di Timtim, di
Lampung, di Tanjung Priok, di mana saja.
Penjelasan ini nampak masuk akal. Bahwa rezim Orde Baru itu
militeristik didukung oleh kenyataan bahwa inti kekuatan Orba
itu memang militer. Tapi kekuatan ini dilegitimasikan melalui
mekanisme memenangkan Golkar dalam pemilu. Artinya
kekuasaan rezim memang militeristik, tapi dasarnya bukan
militerisme.
Pembantaian masal warga Aceh oleh pasukan ABRI mustahil
karena dendam sejarah, bukan karena militerisme, apalagi tak
ada sangkut pautnya dengan rivalitas suku. Pembantaian masal
warga Aceh itu dapat dipahami hanya bila dilihat bukan sebagai
pembantaian etnis (ethnicide) melainkan sebagai pembantaian
politik (politicide). Malahanan bukan hanya di Aceh, tapi juga
yang di Irian, di Lampung, di Tanjung Priok, pembunuhan atas
para aktivis LSM yang diculik, adalah pembunuhan politik.
Pembantaian masal oleh aparat resmi memang bisa amat brutal
dan kejam karena pelakunya merasa dilindungi hukum, tak
bertanggung jawab secara pribadi, dan bisa menjadi tangga
promosi apabila dapat menunjukkan kemampuan-kemampuan
ekstrem. Banyak perwira yang karirnya mencapai pangkat dan
jabatan tinggi, bila ditelusuri riwayat hidupnya pernah terlibat
dalam operasi yang penuh tindak kekejaman -- baik dengan
melakukan sendiri atau atas kebijakan atau perintahnya juga.
Suatu studi dari perang Bosnia menunjukkan bahwa pelaku
pembantaian masal besar-besaran bukanlah milisi atau
orang-orang sipil, melainkan satuan-satuan tentara reguler
Serbia yang dikendalikan oleh Jenderal Radko Mladik.
Maka pertanyaan yang lebih penting di sini bukan ''mengapa
warga sipil itu dibunuhi'', melainkan ''mengapa sampai timbul
gerakan perlawanan atau pemberontakan''. Dalam begitu
banyak gerakan daerah atau pemberontakan yang pernah
timbul di Tanah Air, umumnya tidak berkaitan dengan isu etnis,
dan targetnya bukan melepaskan diri dari RI. Masalah
pokoknya adalah kekecewaan dan merasa diperlakukan tidak
adil oleh pemerintah pusat.
PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi, atau gerakan
dewan-dewan militer di daerah -- seperti Dewan Gajah
Sumatera Utara, Dewan Banteng Sumatera Barat, Dewan
Garuda Sumatera Selatan -- tidak menampilkan konotasi
gerakan separatis-etnis. Begitupun pemberontakan berdasar
Islam yang digerakkan bersama oleh Kartosuwiryo di Jabar,
Kahar Muzakkar di Sulsel, dan Daud Beureueh di Aceh, tetap
menempelkan nama Indonesia pada Negara Islam dan Tentara
Islam mereka -- suatu petunjuk gerakan mereka bukan gerakan
separatis dan tetap menghendaki dalam kerangka Indonesia
sebagai suatu negara bangsa yang utuh.
Nama daerah hanya dipakai dalam gerakan Republik Maluku
Selatan, Papua Merdeka, dan Aceh Merdeka. Tapi sentimen
etnis atau kedaerahan di sini bukan penyebab, melainkan
akibat. Isu daerah atau etnis baru muncul ketika para aktor
gerakan itu memerlukan basis legitimasi untuk menggalang
dukungan atas tuntutannya.
Fardhu kifayah
Dalam kasus Aceh, proklamasi Negara Islam Indonesia (NII)
oleh Daud Beureueh September 1953 adalah klimaks
kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat yang
sudah menumpuk. Mulai dari kebijakan dalam perdagangan
yang melumpuhkan pedagang Aceh sebaliknya menyuburkan
pedagang-pedagang Cina, kecilnya perhatian pemerintah pusat
terhadap pembangunan Aceh dibandingkan terhadap wilayah
Tapanuli dan Sumatera Timur.
Rencana Jakarta menghapuskan Propinsi Aceh dan
menggabungkannya dengan Sumatera Utara, menggantikan
banyak pejabat yang sebelumnya orang Aceh dengan
orang-orang dari luar Aceh -- yang belum tentu beragama Islam
pula -- membuat Aceh (yang sudah memberi andil luar biasa di
masa perjuangan kemerdekaan) merasa disepelekan dan
dikhianati. Kebijakan yang merugikan itu notabene terjadi
ketika kabinet dipimpin Masyumi (Natsir dan Sukiman) yang
punya pendukung besar di Aceh.
Pemberontakan itu akhirnya diselesaikan dengan keputusan
pusat untuk memberi status daerah istimewa bagi Aceh di tahun
1957. Tapi kemudian terbukti status itu juga tidak banyak
memberi keistimewaan kepada rakyat Aceh. Ketika wilayah
Loukseumawe dibuka, rakyat Aceh hanya menonton kekayaan
alamnya yang besar itu dikuras pemerintah pusat Orde Baru.
Sementara penduduk Aceh tak mendapat manfaat dari proyek
besar ini, banjirnya pendatang menimbulkan masalah sosial dan
susila bagi warga setempat. Pemda yang seyogyanya
memperjuangkan kepentingan rakyat di daerahnya, seperti juga
di daerah lain, lebih merupakan boneka pusat di daerah.
Suara-suara tak puas ini berkembang ke tindak kekerasan, kali
ini menyebut dirinya Gerakan Aceh Merdeka.
Seluruh rakyat Aceh tentulah mendukung tuntutan perlakukan
adil dan wajar atas hak-hak mereka, tapi amat diragukan
mayoritas mereka menginginkan Aceh memisahkan diri dari RI.
Sebaliknya, dengan menggunakan nama Aceh Merdeka, seperti
juga Papua Merdeka, memberi alasan penguasa pusat
menggerakkan kekuatan militernya untuk menumpas ancaman
kaum ''separatis'' itu.
Jadi persoalannya bukan legalitas pemerintah menggerakkan
kekuatan militer untuk menghadapi ancaman keutuhan
wilayahnya. Melainkan bahwa operasi militer itu menimbulkan
teror dan ketakutan pada warga sipil dan bahwa
korban-korban operasi militer itu ternyata umumnya bukan
musuh yang tertawan atau terbunuh dalam pertempuran,
melainkan penduduk sipil biasa, yang -- atas laporan intel atau
informan lokal -- dianggap simpatisan yang disebut GPK. Dan
GPK telah mendapat antipolitis-ideologis seperti G30S/PKI,
yang harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Maka
kekejaman menjadi identik dengan heroisme, dan siapa tahu
juga promosi.
Tapi musuh yang tertawan dalam pertempuran saja dilindungi
hukum internasional, apalagi warga sipil biasa? Yang terjadi di
sini warga yang ditangkap dibawa ke tempat pemeriksaan
(untuk disiksa) dan berakhir di kuburan masal. Bahasa
peradaban menyebut tindakan ini pembunuhan, dan harus
dipertanggungjawaban di depan hukum pidana.
Hukum agama, tentu telah dilanggar pula: Fardhu kifayah atau
wajib tingkat dua -- selain, tentu saja fardhu 'ain, wajib tingkat
pertama -- karena korban-korban itu pasti tidak
disembahyangkan lebih dulu sebelum dicampakkan ke liang
kolektif. Melanggar fardhu kifayah, dosanya kolektif juga: Dosa
seasrama, sekesatuan, sekorps.
|