|
Penerapan daerah operasi militer (DOM) meninggalkan trauma mendalam pada masyarakat Aceh. Terlebih di tiga kabupaten: Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Sedikit saja warga melakukan kekeliruan, dia segera dapat cap GPK. KTP mati langsung dicurigai, disetrap, dan disuruh push-up. Berkumpul lebih dari lima orang langsung dicurigai rapat gelap. Dan masih banyak lagi cap lain. Ali tak pernah bermimpi nasibnya bisa begitu sial. Tak pernah dia bayangkan, dia bakal berurusan dengan tentara, kumpulan orang yang selama ini dia takuti. Lelaki berusia 57 tahun, warga Desa Panteraya, Kecamatan Bukit, Takengon (Aceh Tengah), ini tak pernah melupakan tiga bulan 17 hari yang penuh siksaan. Mulai ditahan 31 Juli hingga 15 November 1990, Ali dioper dari sebuah markas ke markas lain dan akhirnya ke lembaga pemasyarakatan. Berikut ini penuturan Ali saat ditemui Jawa Pos di rumahnya di Kecamatan Tiro, Kabupaten Pidie. Siang itu, sekitar pukul 10.00 WIB, sepasukan tentara dari pos 113 mendatangi rumah saya. Mereka langsung menyeret saya ke markas. Dari situ, saya dibawa ke pos tahanan yang jauhnya sekitar 10 kilometer. Begitu datang, saya langsung disuruh buka baju. Poporan senjata dan hantaman sepatu lars langsung menghantam saya. Tentara menuduh saya ikut membantu GPK. Saya menolak, tapi mereka tambah marah. Seharian mereka menyiksa saya. Tengah malam sekitar pukul 20.00 WIB saya direndam di sungai tanpa baju selembar pun. Dinginnya minta ampun, apalagi seharian belum diberi makan dan banyak luka di tubuh. Pukul 23.00 WIB baru saya dikeluarkan dari sungai. Esoknya, selama lima hari berturut-turut, tidak ada hari tanpa siksaan. Saya distrum, dipukuli, ditendang hingga pingsan. Begitu sadar, dada saya diberi balok sambil diikat. Dengan sekuat tenaga, tentara itu menendang saya sampai terjerembab. Begitu perlakuan mereka selama lima hari berturut-turut. Rasanya, badan ini sudah tidak mampu lagi menerima siksaan. Tapi, saya kuatkan karena saya masih diperlukan anak-anak saya. Hari kelima dan seterusnya penyiksaan makin berat. Rasa-rasanya, saya ingin mati saja daripada disiksa terus. Tapi, begitu teringat anak-anak, langsung saya kuatkan. Selain menerima siksaan wajib seperti tendangan dan pukulan, mereka mulai menyetrum kemaluan saya. Rasanya minta ampun. Meski saya menjerit sejadi-jadinya, tentara hanya terkekeh-kekeh. Mereka sama sekali tak punya rasa iba. Akhirnya, saya pingsan dan penyiksaan baru berhenti. Hari berikutnya lebih sadis. Dengan ujung silet ’’Goal’’, tentara itu merobek kulit di bagian susu (tetek). Mereka bilang akan ditulis (tato) huruf GPK. Saya heran apakah siletnya tumpul atau kulit saya tebal hanya tergores sedikit. Tapi, perihnya minta ampun karena mereka membubuhi dengan cairan. (Ali membuka baju, menunjukkan bekas tatoan itu). Suatu hari, oleh seorang petugas, saya disuruh menempelkan muka ke tembok. Tentara dari samping langsung menyodok pakai kayu balok ke rahang saya. Beberapa gigi saya pun langsung copot. Saya menjerit sejadi-jadinya, tapi mereka tak menggubris. Selama dua minggu saya tidak bisa makan. Kalau pun bisa, hanya bubur. Badan saya pun tinggal tulang. Setelah itu saya dipindahkan ke kodim. Di sini siksaan tak kalah beratnya dengan di markas sebelumnya. Setiap hari menu rutin adalah pukulan, tendangan, dan cacian. Istilah mereka ’’bikin bunga’’. Kalau sudah ngomong begitu, saya dan teman-teman rasanya ngeri membayangkan siksaan. ’’Bikin bunga’’ yang dimaksud tentara di situ adalah membuat para tahanan memar dan babak belur hingga muncul benjolan di sekujur tubuhnya. Hampir semua tahanan mengalami perlakuan seperti saya. Setelah itu, saya dipindah ke LP Payah Ilang. Selain mendapat makan pas-pasan, salah sedikit saja langsung disiksa. Namun, di LP tidak setiap hari disiksa seperti sebelumnya. Meski begitu, kami tetap waswas karena semua petugas ringan tangan. Saya sendiri sering mendapat siksaan meski tidak jelas, mengapa mereka menyiksa saya? Setelah dioper ke sana kemari dan disiksa bergantian, akhirnya saya dibebaskan, setelah 3 bulan, 17 hari didera. Seperti saat penangkapan, saat pembebasan pun alasannya tidak jelas. Baru keluar penjara saya langsung menangis. Anak saya Nurhayati ternyata sudah meninggal. Ketika itu dia baru saja melahirkan tujuh hari. Dia stres berat sejak saya ditangkap. Dia mati karena terus memikirkan nasib saya. Dia memang paling sayang pada saya. (Mata Ali pun berkaca-kaca sambil menunjukkan potret anaknya saat menikah). Saya sendiri tidak diberi tahu keluarga karena mereka tak bisa menjenguk saya. Rasanya, hati ini tercabik-cabik. Sudah mendapat siksaan yang begitu berat, saya harus kehilangan anak saya gara-gara memikirkan nasib saya. Cucu saya yang kini berusia 7 tahun harus kehilangan ibunya. Mereka benar-benar kejam.
Kalau ingat masa-masa sulit itu, rasanya saya ingin menangis. Saya
trauma jika melihat orang berpakaian doreng. Rasanya, hati ini muak
menerima perlakuan mereka yang begitu kejam. Harapan saya, semoga mereka
juga mendapat balasan setimpal. Bapak-bapak pemerintah dan ABRI mestinya
harus menghukum mereka. (Bahari)
|