|
Penyiksaan dan tembak mati di depan umum, agaknya, menjadi salah satu cara untuk menakuti warga Aceh agar tidak membantu GPK (Gerakan Pengacau Keamanan). Sayangnya, tindakan seperti itu cenderung menjadi brutal tanpa pilih bulu. Itulah yang dialami Nyak Udip Mahmud, 23 tahun, warga Desa Blok Nari. Kecamatan Tiro, Kabupaten Pidie. Setelah ditelanjangi di depan umum, dia dihabisi di depan ibu dan tetangga-tetangganya sekampung. Memang, silit meminta Siti Hawa Usman, 65 tahun, untuk menuturkan kembali nasib tragis yang menimpa Nyak Udip Mahmud. Di wajahnya selalu terbayang kengerian saat nama anaknya itu disinggung kembali. Namun, setelah didesak dengan halus, Siti yang tinggal di rumahnya yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Sigli, ibu kota Kabupaten Pidie, mau juga bertutur. Didampingi putra keduanya, Abdul Wahab, adik kandung Nyak Udip, Siti menyatakan mau bertutur asal di dalam rumah. Setelah di dalam rumah dan merasa aman, barulah dia bertutur seperti berikut ini. Melupakan? Mana mungkin saya melupakan peristiwa memilukan itu? Saya ingat persis, saat itu tanggal 23 April 1991, sekitar pukul 06.00 WIB. Di tempat kami, hari masih gelap. Keheningan pagi itu kemudian dipecahkan oleh suara dobrakan pintu rumah kami. Di depan pintu, saya melihat beberapa tentara berpakaian doreng berdiri. Mereka menodongkan senjata ke arah anak saya. Tanpa ba bi bu lagi, mereka menyeret anak saya ke depan Masjid Daya, sekitar 20 meter dari rumah ini. Gerombolan kecil itu tidak berhenti sampai di situ. Mereka juga mencari anak saya nomor dua, Abdul Wahid. Beruntung, dia tidak ada di rumah. Kalau ada, mungkin nasibnya tidak berbeda jauh dengan kakaknya. Kedua anak saya dituduh membantu GPK. Tetapi, itu tidak benar. Di depan masjid, sekelompok tentara yang lain juga menggiring ratusan warga. Kalau tidak salah, ada sekitar 300 orang tua-muda, laki-perempuan. Mereka umumnya mambawa lampu (teplok) karena hari masih gelap. Setelah massa berkumpul, salah seorang tentara melucuti baju anak saya. Mula-mula bagian atasnya. Dia tak mau repot-repot memakai tangannya, baju itu ditarik dengan ujung bayonet senjatanya. Begitu juga saat menarik tali BH-nya. Anak saya sudah berontak, tetapi tentara itu dengan kasar mendorongnya. Setelah itu, roknya diseret pakai kaki bersepatu bot. Karena rok itu tidak juga melorot, mereka kembali menggunakan ujung bayonet, hingga pinggangnya tampak tergores dan mengeluarkan darah. Setelah itu, anak saya ditendang hingga terjerembab. Ketika bangun, anak saya berusaha menutupi tetek dan kemaluannya dengan kedua telapak tangannya. Tetapi, tangan anak saya itu ditepis secara kasar oleh tentara itu dan bagian kemaluannya ditendang dengan keras. Saya dan masyarakat kampung tidak tega melihatnya. Tetapi, para tentara itu memaksa kami untuk melihatnya. Paksaan itu terutama ditujukan kepada kaum laki-laki. Jika ada yang memalingkan muka, mereka langsung ditempeleng. Bahkan, ada yang dipopor senjata. (Sampai pada bagian ini, Siti Hawa menangis tersendu-sendu tak kuasa menahan emosinya. Selama lima menit dia menagis. Setelah menghela napas dalam-dalam, dia mencoba menguatkan diri dan melanjutkan ceritanya). Tentara itu lalu berteriak-teriak. Mereka marah dan menuduh bahwa anak saya sering membantu GPK. Tetapi, kami menolak tuduhan itu. Selain tidak ada bukti, sesungguhnya kami memang tidak pernah membantu. Melihat massa cuma berdiam, para tentara itu mengumumkan, hukuman bagi yang membantu GPK adalah ditembak. Saat itu, suasana benar-benar mencekam. Semua orang disuruh menatap ke arah anak saya yang dipaksa berdiri tanpa kain selembar pun. Kalau ada yang melengos atau tidak menatap, popor senjata langsung melayang ke mukanya. Atau tendangan bertubi-tubi. Jadi, semua orang dipaksa melihatnya. Setelah itu, tentara mengikat tangan anak saya dan disuruh berdoa karena akan ditembak. Semua hening. Saya hanya bisa berdoa dan pasrah. Tak berapa lama kemudian, terdengar suara letupan senjata. Tubuh anak saya tersungkur di tanah bersimbah darah dengan tembakan persis pada bagian pelipisnya. Begitu tubuhnya ambruk, saya langsung menubruk anak saya sambil menangis meronta-ronta. Tetapi, tentara dengan enaknya berkata, ‘’Itulah hukuman bagi mereka yang membantu GPK.’’ Tentara tersebut mengatakan hal itu sambil berlalu. Setelah itu, warga kampung balik ke rumah masing-masing. Hanya beberapa orang yang membantu menguburkan anak saya di pemakaman keluarga. Mereka biadab, mereka berhati binatang. (Siti Hawa berhenti bercerita. Semula dia terisak, kemudian menangis meraung-raung, dan baru berhenti menangis enam menit kemudian. Sedangkan mata Abdul Wahab tampak memerah. Dia berusaha tabah dengan menyedot rokok kreteknya dalam-dalam. Ia pun tak mampu menahan perih hatinya, beberapa butir air menetes dari kelopak matanya). Irawati, cucu saya dari almarhumah, menjadi tanggungan saya. Saat ibunya ditembak, ia masih berusia tujuh tahun. Sekarang sudah duduk di bangku SMA. Itu pun sedikit agak terlambat karena kami tidak punya uang. Namun, Irawati terus meminta sekolah, bahkan sampai menangis. Akhirnya, dengan utang sana sini, cucu saya bisa sekolah. (Saat wawancara Irawati sedang sekolah).
Sebagai orang tua, saya meminta pemerintah dan ABRI menindak mereka yang
berbuat brutal kepada anak saya. Mereka harus dihukum setimpal. Akibat
perbuatan mereka, saya kehilangan anak. Cucu saya kehilangan ayah dan
ibunya. Bisa dibayangkan bagaimana sedihnya cucu saya itu. Beruntung,
saya masih bisa menghidupi dia dengan kerja sebagai petani.(Bahari)
|