|
Lhokseumawe, 3 September Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto mengatakan, penarikan pasukan ABRI dari Aceh ditangguhkan sampai keadaan dianggap cukup aman, sekaligus dilakukan penambahan anggota ABRI di sana untuk mengamankan objek vital strategis. Wiranto mengatakan hal itu menjawab pertanyaan wartawan seusai sidang kabinet bidang Ekuin di Bina Graha Jakarta, Rabu (2/9) siang. ''Apa yang terjadi di Aceh sebenarnya kita sesalkan bersama, karena tanggung jawab masalah keamanan yang baru saja kita serahkan kepada pemerintah daerah, tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat Aceh sendiri, ternyata telah dinodai oleh beberapa oknum yang membawa massa ke arah tindakan yang sangat anarkhis,'' kata Pangab. Oleh karena itu, dengan tanggung jawab ABRI untuk melaksanakan tugas-tugas mengamankan seluruh wilayah nasional, maka tentu penarikan pasukan untuk sementara ditangguhkan dulu sampai keadaan dianggap cukup aman, sekaligus ABRI yang ada di sana dengan beberapa penambahan untuk mengamankan obyek vital strategis. ''Kami mengajak masyarakat, terutama masyarakat Aceh untuk bersama-sama menyadarkan, bersama-sama untuk memulihkan kembali situasi yang saat ini barangkali tidak lagi tidak dinyatakan aman. Karena terus terang, memang banyak sekali perusakan oleh segelintir oknum masyarakat terhadap fasilitas umum, kepentingan umum, yang sebenarnya bermanfaat bagi masyarakat itu sendiri. Antara lain toko-toko, hotel dan kantor. Ini sangat kita sesalkan bersama,'' tambahnya. Menhankam/Pangab juga mengatakan sudah ada yang ditahan dalam kasus kerusuhan di Aceh tersebut. Bahkan ada lembaga pemasyarakatan (LP) yang mereka jebol dan ada narapidana (napi) yang lari, tapi sudah bisa ditangkap sebagian. ''Oleh karena itu saya minta semua pihak bisa menahan diri dan bisa berpikir secara arif terhadap masalah ini. Sehingga kita tunggu saja bagaimana ABRI dan masyarakat kembali memulihkan suasana aman, tenteram, dan menimbulkan rasa aman di masyarakat, Lhokseumawe pada khususnya,'' katanya. Sampai kapan penangguhan penarikan pasukan ABRI ? ''Tanya saja masyarakat Aceh,'' kata Pangab. Tinjau Ulang Sementara itu, pihak Komnas HAM berpendapat, penyimpangan budaya militer berupa sikap dan praktek seolah-olah dapat berbuat apapun juga oleh anggota ABRI demi negara dan stabilitas, perlu dihilangkan. Salah satu langkah yang bisa dilakukan ialah meninjau ulang secara mendasar kurikulum pendidikan ABRI. Di sisi lain, pimpinan ABRI sudah saatnya menyempurnakan beberapa ketentuan hukum militer yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan, khususnya dalam pelaksanaan operasi. Pokok-pokok pikiran tersebut merupakan dua rekomendasi Komnas HAM tentang pelanggaran HAM di Aceh selama dalam status Daerah Oparasi Militer (DOM) yang dikemukakan Wakil Ketua II Komnas, Marzuki Darusman di Jakarta, Rabu malam. Hadir dalam pernyataan Komnas ialah, Wakil Ketua I dan anggota Komnas, Prof Miriam Budiardjo, Albert Hasibuan, Djoko Soegianto, Prof Charles Himawan, Soegiri, Samsuddin dan BN Marbun. Menjawab pertanyaan, Marzuki meminta semua kalangan tidak terlampau mempermasalahkan jumlah korban dalam suatu peristiwa yang berdimensi pelanggaran HAM. Setiap pelanggaran HAM, berapa pun jumlah korban yang jatuh, harus mendapat perhatian semua kalangan. Selain menerima berbagai pengaduan dari masyarakat Aceh dan sejumlah LSM, Tim Komnas yang dipimpin Sekjen Komnas Prof Baharuddin Lopa telah melakukan investigasi di lapangan, termasuk ikut melakukan pembongkaran kuburan tempat mayat korban kekerasan dikubur. Menurut Komnas, selama berlakunya DOM di Aceh untuk menumpas apa yang disebut Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam kurun waktu 1989-1998, operasi militer yang dilaksanakan menimbulkan banyak penderitaan di kalangan rakyat setempat. Selama kurun waktu itu, terjadi pembunuhan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan kekerasan seksual khususnya di Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Komnas yang menyambut baik keputusan penghapusan status DOM di Aceh mendesak pemerintah menindaklanjuti keputusan tersebut dengan berbagai kebijakan yang dapat memulihkan rasa aman dan saling percaya di tengah masyarakat. Untuk memulihkan keadaan, perlu didahulukan berfungsinya institusi sipil dan kepolisian. Dalam pada itu Perhimpunan Bantuan Hukum Dan HAM Indonesia (PBHI) mengingatkan aparat keamanan agar lebih arif bijaksana menangani unjuk rasa rakyat di Lhosemawe, Aceh Utara. Unjuk rasa dan gejokan masyarakat di sejumlah daerah akhir-akhir ini hendaknya dipahami sebagai dampak dari penekanan rezim Orde Baru selama lebih dari 30 tahun yang baru berakhir Mei lalu. Gejolak masyarakat yang mendapat sedikit kebebasan setelah sekian lama ditekan seharusnya dipahami pemerintah dan pimpinan ABRI, demikian dikatakan Ketua Dewan Pengurus PBHI Hendardi dalam siaran persnya, Kamis pagi. Masih Mencekam Sementara itu, dari Lhokseumawe dilaporkan, situasi kota berangsur-angsur pulih setelah masyarakat bersama aktivis LSM (Lembaga-lembaga Masyarakat) diberi kesempatan mengamankan situasi. Namun demikian, kota industri dan niaga di Aceh Utara itu, sampai Kamis (3/9) pagi masih terlihat mencekam, akibat kerusuhan sejak Senin lalu. Pemantauan Pembaruan Kamis pagi, sejumlah aparat keamanan berjaga-jaga di tiga lokasi yang paling fatal dilanda kerusuhan, yakni di Jalan Sukaramai, Perdagangan dan Jalan Gudang. Sementara ratusan massa terlihat berkumpul di ketiga jalan yang dikenal sebagai pusat perdagangan di kota itu. Dari Polres Aceh Utara diperoleh keterangan, 100 siswa yang terlibat aksi kerusuhan telah dimintai keterangan. Setelah diberi nasihat ke-100 siswa itu diperbolehkan pulang. Sedang ke-12 pelaku aksi kerusuhan yang terluka akibat tembakan pada hari Selasa sampai Kamis pagi masih dirawat di rumah sakit umum setempat. Untuk mengantisipasi kemungkinan kerusuhan lanjutan, Muspida Aceh Utara sepakat, pelajar SLTA di kota itu diliburkan sampai hari Senin depan. Keputusan itu dikeluarkan, mengingat selama kerusuhan terjadi tidak sedikit pelajar SLTA yang ikut melakukan aksi bersama massa. Masyarakat dan aktivis LSM yang turut melakukan pengamanan di kota itu, diberi tanda pita putih di lengan dan di kepala. Dengan bersenjatakan tongkat, masyarakat bersama ABRI menjaga kota petro dolar itu. Kendati tidak diberlakukan jam malam, setiap orang yang melintas di inti kota ditanyai identitas dan tujuannya datang ke Lhokseumawe. ''Penjagaan ini kami lakukan untuk menjaga kemungkin yang terjadi,'' kata seorang warga kepada Pembaruan Kamis dinihari. Kapolda Aceh Kol Pol Mohd Rodja yang berada di Lhokseumawe ketika dihubungi mengatakan, situasi di kota ini sejak Rabu malam hingga Kamis pagi mulai tenang. ''Mudah-mudahan begini terus,'' ujarnya. Ia membenarkan, pihaknya menyiagakan sebanyak 900 personel yakni 700 orang dari Polres Aceh Utra dan 200 orang Brimob Polda Aceh serta tambahan satu SSK (satuan setingkat kompi) dari Polda Sumut. Saat berita ini dikirimkan, Pangdam I/BB Mayjen TNI Ismed Yuzairi sedang mengadakan briefing di Makorem 011/Lilawangsa Lhokseumawe. Hingga Kamis pagi, sembilan korban penembakan masih dirawat di rumah sakit, enam di rumah sakit umum Lhokseumawe dan tiga di rumah sakit Kesrem 011/LW. Seorang yang dirawat di Kesrem yakni Kholil Idris (20) masih dalam kondisi kritis. Menurut Direktur RSU Lhokseumawe, dr Mulya Hasmy pada mulanya ada 30 korban yang mengalami luka berat dan ringan. Namun 24 sudah kembali. Sedang enam masih dirawat. Sedang Kepala LP Lhokseumawe, Kutopo Widodo ketika dihubungi Kamis pagi mengatakan, dari 109 narapidana dan tahanan yang kabur saat kerusuhan, 21 orang sudah kembali. Komponen masyarakat Aceh terdiri dari DPRD, Golkar, PPP, PDI, MUI, civitas akademika, LBH, dan ormas pemuda dan OKP serta organisasi kemasyarakatan lainnya hari Kamis mengeluarkan pernyataan sikap yang isinya agar masyarakat Aceh menjaga, memelihara persatuan dan kesatuan. Mereka juga meminta masyarakat Aceh menghentikan penjarahan, perusakan dan penghancuran karena hanya merugikan diri sendiri. Jangan mudah terpancing dengan isu yang tidak jelas asal usulnya, waspadai adanya kelompok tertentu yang ingin membuat kerusuhan. Kepala Unit Pelayanan Pelanggan PT Telkom untuk wilayah Lhokseumawe, Maman, Kamis (3/9) siang mengatakan, kerusuhan di daerah ini tidak mengganggu jalur telepon dari dan ke Aceh Utara. Semua saluran dari berbagai daerah,bahkan Luar Negeri dapat masuk ke Aceh Utara, khususnya Lhokseumawe. Demikian ke daerah lainnya ke seluruh Tanah Air. Barisan Rakyat Sementara itu di Jakarta, salah satu unsur GRPR yang menamakan dirinya barisan rakyat pejuang reformasi (BRA-PRO) meminta pemerintahan Habibie berserta seluruh jajarannya menyatakan bertanggungjawab atas krisis nasional yang terjadi saat ini. Di samping itu pemerintahan Habibie juga harus meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia dimana hingga saat ini mereka belum bisa memenuhi tuntutan dan memperjuangkan nasib bangsa Indonesia. Sedangkan 30 pemuda yang menamakan diri Front Aliansi Untuk Hak Asasi Manusia (Fauham) melakukan unjuk rasa di depan Dephankam. Mereka antara lain mengusulkan kepada Menhankam Pangab agar Pemerintah dan ABRI mengadili dan menindak tegas para pelanggar HAM di Aceh, mengganti semua pimpinan ABRI di Aceh yang tidak profesional, menghentikan rekayasa politik,guna menghilangkan kesalahpahaman sebaiknya ABRI dan LSM membentuk tim pencari fakta gabungan yang bekerja secara independen. Pada waktu yang bersamaan, sebanyak 60 warga Tanahmerah datang ke gedung Mahkamah Agung (MA) menuntut penyelesaian masalah tanah dan tempat tinggal mereka. Yance salah seorang warga mengatakan, tanah garapan mereka pada tahun 1991 akan digunakan pertamina sehingga mereka harus pindah. Dari sekitar 3.500 kepala keluarga 1.132 KK diantaranya masih bertahan karena penyelesaian ganti rugi tidak berjalan seperti yang dmusyawarahkan.
|