|
03 Oktober 1998 - 16:55:15 (BRP) Duta Besar Inggris Robin Christopher menilai apa yang telah terjadi di Aceh sepanjang kurun 1989-98, sebagai kejadian penting yang melukai substansi hak asasi manusia (HAM) dan perlu proses penyembuhan yang lama. Karenanya, harus ada sikap serius dari Pemerintah Habibie untuk menanganinya, termasuk menegakkan hukum dan keadilan, agar peristiwa serupa tak terulang. Hal itu dikemukakan Dubes Inggris, Kamis (1/10) petang dalam dua kesempatan. Pertama di Desa Selatan, Kecamatan Batee, Pidie, ketika berdialog dengan para janda dan yatim, serta korban penyiksaan selama Operasi Jaring Merah, juga ketika berbincang dengan Serambi dalam perjalanan malam pulang dari lokasi. Kunjungan Dubes ke Desa Selatan itu tergolong mendadak. Setelah bermalam di Banda Aceh dan mengadakan serangkaian pertemuan dengan petinggi kampus dan birokrat Kamis pagi, Dubes mengaku tertarik untuk datang ke lokasi, tempat ia bisa bertatap muka dengan korban DOM. Untuk itu, ia minta jasa Forum Peduli HAM, dipimpin Abdul Gani Nurdin, mengantarnya ke lokasi terdekat, mengingat waktu yang ia punya amat sedikit. Apalagi, Senin malam Dubes bersama istrinya harus kembali ke Hotel Kuala Tripa Banda Aceh untuk santap malam bersama orang-orang Inggris yang bertugas di Aceh. Di Desa Selatan yang berjarak sekitar 100 kilometer arah timur Banda Aceh itu, Dubes bertatap muka dengan ratusan warga. Namun, karena waktunya amat singkat, koordinator lapangan FP HAM hanya sempat mengumpulkan 28 janda, 17 yatim, 7 korban yang rumahnya dibakar aparat keamanan, 1 korban perkosaan, dan 6 korban penyiksaan. "Sebetulnya, kalau waktu yang tersedia cukup, jumlah korban DOM yang dihimpun dari desa-desa berdekatan dengan Desa Selatan bisa mencapai ratusan," lapor Fakhrurrazi, relawan FP HAM kepada Dubes. Namun, seperti dikatakan Dubes, jumlah yang ada itu saja sudah cukup representatif untuk mengindikasikan bahwa benar di Aceh, selama DOM diberlakukan, telah terjadi serangkaian peristiwa penting yang intinya merupakan pelanggaran HAM. Satu hal yang penting, menurut Dubes, masyarakat dunia tidak mungkin tinggal diam dengan kasus-kasus pelanggaran HAM, mengingat HAM itu sendiri lingkupnya universal. "Inggris sendiri tidak mengistimewakan Kasus Aceh, karena dalam perspektif HAM, Kasus Aceh tidak dibeda-bedakan cara memandangnya dengan kasus di daerah- daerah lain." Begitupun, kata Dubes, ada perkembangan istimewa yang terjadi di Aceh belakangan ini. Yakni, dengan ditariknya pasukan nororganik, menyebabkan apa-apa yang telah dialami rakyat Aceh selama diberlakukannya DOM, menjadi terbuka dan diungkapkan secara transparan. "Ini merupakan proses penyembuhan yang sangat berarti bagi para korban di sini, ketimbang derita itu harus dirasakan dan dipendam sendiri," kata Dubes seraya menimpali bahwa ia datang ke desa itu tak lain untuk mendengar langsung dari korban atau para saksi mata tentang nestapa Aceh yang selama ini hanya ia dengar dari televisi atau baca dari media cetak. Wanita buta diperkosa Didampingi dua penerjemah dari FP HAM, Saifuddin Banstasyam MA dan Dr Ahmad Humam Hamid, Dubes bertanya langsung kepada para korban. Giliran pertama, Dubes berdialog dengan Nyak Puteh (42) warga Meunasah Dayah Baroh, Kecamatan Batee. Wanita tutanetra ini, meski awalnya tampak tegar, namun tak kuasa menahan isak tangis ketika harus menuturkan ulang peristiwa yang dialaminya pada suatu pagi, sekira pukul 10.00 WIB, tahun 1991 silam. "Saya diperkosa tentara. Saya meronta dan berteriak. Namun, mulut saya dibekap dengan tangannya," ucap Nyak Puteh dalam bahasa Aceh. Nyak Puteh memastikan bahwa pria yang menodainya itu tentara. Pagi itu serombongan tentara memang datang ke desa itu, dan ini diperkuat para saksi mata. Semua warga disuruh kumpul di meunasah. Namun, karena merasa tunanetra, Nyak Puteh tak datang, meski sudah ditegur seorang tentara. Oknum inilah yang kemudian memanfaatkan kebutaan Nyak Puteh. Ia mulai merayu Puteh untuk melakukan tindakan tak senonoh, mengingat di rumah gubuk itu hanya Puteh seorang. Namun, ajakan itu ditampik Puteh. "Saya Islam Pak Dubes, terlarang melakukan hal begituan," ucap Nyak Puteh. Si petugas tadi pun menguji daya penglihatan Nyak Puteh. Dipaparkannya sejumlah jari tangan, sedangkan yang lainnya dikatup, lalu ia suruh hitung pada Nyak Puteh berapa jarinya yang terbuka. "Saya tak bisa jawab, karena tak bisa lihat," ujar Puteh. Rupanya, itu cuma siasat sang petugas untuk memastikan Nyak Puteh memang tak bisa melihat, dan itu artinya tak bakal kenal siapa yang memperkosanya. Maka, lelaki berseragam tadi pun mendorong Nyak Puteh ke dalam rumah dan melucuti pakaiannya. Tragedi kemanusiaan itu pun terjadi. Si petugas berlalu, dan tinggalnya Nyak Puteh dalam nestapa. Ia kemudian berlari ke meunasah, mengabarkan apa yang telah dialaminya. Namun, warga yang sedang diliputi takut tak bisa berbuat apa-apa. Maka, Nyak Puteh pun kemudian pergi menyusul bibinya ke Sabang. "Kalau tidak lari, saya takut diperkosa lagi," ujar Nyak Puteh, yang mengaku baru sekali itu mengenal suara lelaki yang memperkosanya. Itu menandakan lelaki itu bukan warga setempat. Enam tahun di Sabang, Puteh kembali lagi. Namun, saat kembali, rumahnya yang terbengkalai sudah rusak parah. Ia pun kembali ke Sabang. Setahun kemudian, setelah mendengar DOM dicabut, ia kembali ke desanya. "Untung ada warga yang berbaik hati membangun rumah buat saya secara bergotong royong," ujar Puteh yang dalam empat bulan terakhir hidup dengan nafkah merajut tikar pandan. Dua wanita lain, masing-masing Ramlah (39), warga Desa Jrueng dan Saerah (70), mengadukan kehilangan suaminya kepada Dubes. Kedua wanita itu di tahun 1991 mengalami nahas. Setelah masing-masing suami mereka diculik petugas, kemudian ditemukan tewas dengan luka tertembak. Tuduhan terhadap mereka adalah terlibat GPK. Namun, kedua korban juga terlibat perseteruan soal tanah (tambak udang) dengan lawannya yang menggunakan jasa aparat keamanan untuk menyelesaikan masalah. Ada juga korban pemukulan aparat yang mengadu kepada Dubes. Lelaki itu bernama Abdullah Daud (46), warga Desa Neuhuen, Batee. Sebagai pelaut, Abdullah yang ingin mengunjungi keluarganya di Pidie, ketika kapalnya sandar di Belawan, mengalami nahas ketika melintasi Peureulak (Aceh Timur) naik bus. "Saya dimintai KTP. Namun, karena di dompet saya terdapat sejumlah mata uang asing, petugas menyuruh saya turun. Uang saya disita dan bahu serta punggung saya dipukuli dengan popor senjata. Saya mengalami cacat tubuh dan tak bisa lagi berlayar seperti dulu," ujar lelaki kurus yang mahir berbahasa Inggris ini. Terhadap semua paparan korban tersebut, Dubes dan istrinya hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia menyatakan berterima kasih atas keterbukaan warga melaporkan kejadian yang menimpa diri atau keluarganya. Kemudian, menjelang pamit Dubes tak menjanjikan apa- apa. Namun, menurutnya kepada Serambi, akan mempertimbangkan dan mengajukan usul ke Pemerintah Inggris untuk membantu meringankan beban korban pelanggaran HAM di Aceh. Terutama membantu beasiswa untuk para yatim korban DOM.
|