|
Pengkhianat ada di mana-mana dan dalam masyarakat mana pun. Namun, di Aceh--khususnya pada era daerah operasi militer (DOM)--pengkhianatan oleh para cuak, penduduk lokal yang membantu militer Indonesia, telah menyebabkan penderitaan dramatis. Dan di era reformasi kini, giliran mereka menjadi sasaran kekejaman: diburu dan dibunuh. Namun, dari sejumlah indikasi, mereka justru dilenyapkan untuk menghapus jejak operasi militer. Muhammad Sufi bin Syahbuddin masih tergolek lemah di sebuah bangsal rumah sakit itu, di Lhokseumawe, Aceh Utara. Tangannya masih terbalut perban. Namun, bukan luka itu sendiri yang membuatnya sedih. Dia yakin akan sembuh--lukanya tak terlalu mengkhawatirkan. "Setelah sembuh saya mungkin takkan pernah bisa kembali ke kampung saya," katanya kepada Zainal Bakri dari TEMPO, pekan lalu. Para kerabat menyarankan Sufi sebaiknya mengungsi, entah sampai kapan. Dan itu berarti dia harus meninggalkan istri dan dua anaknya di Desa Alue Papeun, Kecamatan Nisam, Aceh Utara. "Kalau itu sudah menjadi kesepakatan bersama, saya harus memenuhinya," katanya. Sufi tak menduga kejadiannya akan begitu. Masih gelap pula buatnya, kenapa ada orang yang ingin membunuhnya. Apa motifnya? Kenapa dia jadi sasaran? Pada malam yang biasa-biasa saja itu, 12 Februari lalu, Sufi yang pekerjaannya sehari-hari menjadi sopir sedang duduk-duduk di keude (kedai) nasi milik istrinya. Dia sedang mengobrol dan menonton televisi bersama beberapa tetangga ketika dua orang melintas bersepeda motor tanpa nomor polisi. Yang memegang setir mengenakan helm besar menutupi seluruh wajahnya, dengan selembar handuk di sekitar mulutnya. Yang membonceng, tanpa helm, melemparkan senyum yang dibalas oleh Sufi meski dia tak merasa mengenalnya. Pengendara sepeda motor lewat begitu saja. Namun, beberapa saat kemudian, mereka datang lagi. Kali ini yang membonceng turun dan langsung mengarahkan senjata laras panjang ke dada Sufi. Sufi mencoba menepiskannya, tapi senjata itu menyalak mengenai tangannya. Si pembawa senjata kini membabi-buta, memuntahkan rentetan peluru sehingga atap dan dinding kedai bolong-bolong. Sufi dan teman-temannya berhamburan keluar dan sembunyi. Namun, si penembak--entah mengapa--tak memburu mereka, bahkan melenggang pergi dengan tenang. Menurut sumber lain, dua pengendara motor itu mengunjungi kedai berikutnya. Kembali si pembawa senjata menodong seorang laki-laki di situ dan bertanya: "Kah Keuchik Lah nyeuh?" (Kau Lurah Lah, ya?). Dengan wajah pucat pasi, yang ditodong menjawab, "Bukan." Para pemburu kemudian melepaskannya tanpa insiden. Yang dimaksud dengan Keuchik Lah adalah Abdullah, mantan lurah di desa itu, yang belakangan sudah pindah ke desa lain. Abdullah dikenal sebagai aparat desa yang pernah membantu militer Indonesia. Masyarakat setempat menyebut orang-orang semacam itu sebagai "cuak" alias kolaborator. Cuak. Itulah alasan yang diberikan kepada Sufi agar dia tidak kembali ke kampung halamannya. Meski dia bersumpah tak pernah mengkhianati penduduk desanya, dan itu dibenarkan oleh masyarakat sekitarnya, tuduhan sebagai cuak saja sudah cukup untuk membuat dia tewas. Dalam beberapa bulan terakhir terjadi serangkaian pembunuhan misterius di seluruh penjuru Aceh. Sufi beruntung tidak terkena serangan pada bagian tubuhnya yang fatal. Menurut data yang dikumpulkan Yayasan Anak Bangsa, sebuah lembaga swadaya setempat, setidaknya ada 14 orang yang tewas di seluruh Aceh antara Oktober 1998 dan awal Februari 1999 (lihat daftar). Pola kekejian yang mereka derita bemacam-macam. Ada yang ditembak, dianiaya, dikeroyok massa, ditebas dengan senjata tajam, hingga diberondong dengan senjata api. Menurut Iqbal Farabi, S.H., Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh, mayoritas--tidak semua--dari mereka yang terbunuh adalah orang-orang yang diduga atau diyakini sebagai cuak. Tak semua pelaku pembunuhan misterius. Dalam beberapa kasus, pelakunya adalah massa rakyat. Menurut masyarakat setempat, peristiwa berdarah akhir-akhir ini merupakan gelombang balik kemarahan rakyat terhadap orang-orang yang diduga atau diyakini sebagai cuak. Cuak adalah istilah setempat yang populer setelah pemerintah pusat di Jakarta menghentikan status Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM). Dalam "Operasi Jaringan Merah" yang dilakukan sejak 1989, ABRI menggunakan informan lokal untuk memberantas Gerakan Aceh Merdeka (GAM)--gerakan yang menginginkan provinsi itu lepas dari Indonesia. Dalam prosesnya, selama 10 tahun terakhir, DOM justru menyebabkan kepedihan mendalam di kalangan rakyat Aceh. Menurut laporan Forum Peduli HAM Aceh, yang juga menjadi bagian laporan lembaga internasional seperti Amnesty International dan Human Right Watch, tak kurang 1.838 orang hilang, 1.994 jiwa terbunuh dan 2.449 lainnya mengalami siksaan fisik. Lebih dari itu, ada 115 wanita yang mengaku diperkosa, 81 lainnya mengalami pelecehan seksual. Penderitaan tak berhenti di situ. Menurut laporan Tim Komnas HAM yang diterjunkan ke sana tahun lalu, ada sekitar 3.000 wanita yang kehilangan suami, dan 20.000 anak yang menjadi yatim. Sungguh sebuah ongkos sosial yang sangat mahal. Cuak merupakan tradisi gelap yang sebenarnya bukan fenomena baru. Praktek "mengkhianati orang sendiri" seperti itu telah menjadi bagian dari sejarah kelam Aceh sejak era Cut Nyak Dhien (lihat: Hikayat Musuh dalam Selimut). Itu juga terjadi pada masa operasi militer Orde Lama ketika memberangus kelompok Darul Islam (DI). Namun, operasi militer pada masa Orde Baru dikenal masyarakat setempat lebih kejam. Rumoh Geudong adalah salah satu "monumen" kekejaman mereka, sebuah pos komando militer di Pidie, yang juga dikenal sebagai kamp penyiksaan. Cuak-cuak itu pun sering pula ikut bertindak menyiksa dan membunuh, sementara di masa lalu mereka sekadar "penunjuk jalan". Laporan tentang kejahatan DOM ini jarang terungkap ke permukaan semasa Soeharto berkuasa. Presiden B.J. Habibie memerintahkan penghentian operasi militer itu Agustus lalu, beberapa bulan setelah Soeharto jatuh. Melihat rekor kekejiannya yang fantastis, bisa dipahami amarah massa rakyat terhadap saudara-saudara sedarah sendiri yang selama ini menjual nasib banyak orang kepada militer Indonesia. Namun sebagian besar mereka yang tewas tidaklah dikeroyok massa. Dalam beberapa kasus yang belakangan berkembang, mereka didatangi orang-orang misterius, baik identitas maupun motifnya, seperti dalam usaha pembunuhan yang dialami Sufi tadi. Meski misterius, menurut Iqbal, ada pola yang konsisten. Dari laporan yang dikumpulkannya, Iqbal menuturkan bahwa para pembunuh itu memakai kendaraan roda dua, berbadan tegap, tinggi, dan membawa pistol atau senjata laras panjang. Motif pembunuhan hampir pasti bukan tindakan kriminal murni. Namun, jika politis, siapa yang layak dituding? Menurut Iqbal, ada dua kelompok yang punya kepentingan untuk melenyapkan para cuak. Yang pertama adalah anggota GAM, dengan motif balas dendam. Namun tokoh GAM umumnya dikenal masyarakat setempat, sementara para pembunuh itu tidak dikenal oleh warga sekitar. Kelompok lain? "Ada upaya pemutihan yang sedang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM semasa DOM," kata Otto Syamsuddin Ishak, aktivis LSM Cordova, Banda Aceh. "ABRI berkepentingan untuk melenyapkan cuak," kata Iqbal dari Kontras. "Yakni, untuk menghilangkan barang bukti, mengingat tuntutan penyelesaian jalur hukum terhadap pelanggaran HAM selama DOM itu tambah kuat." Sejumlah LSM dan lembaga bantuan hukum di Aceh juga berkepentingan untuk bisa mengungkap praktek operasi militer yang keji melalui jalur hukum. Bagi mereka, para cuak bisa menjadi saksi yang berharga. Beberapa pemerintah daerah juga membentuk tim pencari fakta yang antara lain mendaftar orang-orang yang dicurigai sebagai cuak. Yusuf Ismail Pase, Wakil Ketua Tim Pencari Fakta Aceh Utara, misalnya, mengaku kepada TEMPO telah menyerahkan daftar berisi 119 nama mereka yang diduga cuak dari daerah itu. Data itu disampaikan kepada pihak kepolisian dengan maksud agar para cuak dilindungi dari kemungkinan amukan massa dan untuk pengusutan lebih jauh. Melihat lambannya polisi menanggapi laporan mereka, dan bahkan kini para saksi itu terancam lenyap, sejumlah LSM kini menduga pembunuhan misterius para cuak ini dimaksudkan untuk menghilangkan para saksi. Atau, alasan lain. Tidak semua yang terbunuh adalah mereka yang bisa diidentifikasi sebagai cuak (artinya motif "melenyapkan saksi" tidak sepenuhnya bisa diterima). Dan, teror yang akhir-akhir ini melanda Aceh juga tidak hanya dialami oleh mereka yang diduga sebagai cuak. Awal Februari ini, sebagian janda DOM mengadu ke DPRD dan mengaku mengalami teror dari pasukan tak dikenal yang bergerak di Aceh pasca-DOM. "Hal ini menambah beban berat hidup kami," kata Nurlaila, Ketua Umum Forum Janda Korban DOM (Forjadom). Untuk beberapa hal, peristiwa akhir-akhir ini memang sulit dipahami. Namun, hasilnya jelas: rakyat Aceh dibuat bingung. Rangkaian pembunuhan misterius itu, menurut Otto Syamsuddin, dimaksudkan untuk memprovokasi rakyat guna memburu cuak-cuak lain sehingga terjadi konflik horizontal yang bisa menjadi justifikasi bahwa Aceh tidak aman, sehingga kehadiran militer Indonesia di Aceh dalam jumlah besar tetap dibutuhkan. Beberapa LSM lain bahkan menuduh bahwa pernyataan pemerintah pusat untuk menarik pasukan DOM hanya basa-basi belaka. Sebab, di tengah teror belakangan ini juga beredar kabar tentang kedatangan pasukan baru ke Aceh. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Aceh dua pekan lalu melaporkan adanya sekitar 1.000 anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang diterjunkan ke provinsi itu. Pasukan itu datang melalui dua jalur. Secara resmi mereka masuk ke tiga wilayah Kodim: Pidie, Aceh Utara dan Timur. Sementara itu, secara tak resmi mereka menyusup dalam wujud pasukan siluman--berpakaian preman tapi bersenjata. "Ada yang menyamar sebagai karyawan salah satu perusahaan kontraktor PT Arun di Lhokseumawe," kata Mohammad Saleh, Ketua Umum Badko HMI Aceh, seperti ditulis koran Serambi Indonesia. Forum LSM Aceh, yang beranggotakan 78 LSM, juga menyinyalir adanya penyusupan personel pasukan tak dikenal ke Aceh, terutama setelah insiden Lhoknibang, Aceh Timur, Desember lalu. Masuknya pasukan baru itu, menurut mereka, berkorelasi dengan meningkatnya intensitas teror dan intimidasi aparat di bekas DOM. Petugas, menurut laporan organisasi itu, antara lain juga menggeledah posko penanggulangan korban kekerasan yang didirikan mahasiswa di Bulohblangara, Aceh Utara. Kapendam I Bukit Barisan Letkol Inf. Nurdin Sulistiyo mengaku tidak tahu-menahu informasi tadi. Dan, Gubernur Aceh Syamsuddin Mahmud kepada TEMPO pekan lalu juga membantah adanya penambahan pasukan dari Jakarta, maupun kaitan antara pembantaian para cuak dengan aparat militer. Apa pun yang terjadi, Aceh belum berhenti menderita. Dan aparat hukum tak menunjukkan bisa mencegahnya. Semuanya memicu keresahan yang belakangan ini mengental menjadi hasrat lebih kuat untuk otonomi lebih besar, bahkan referendum bagi kemerdekaannya dari Indonesia. **
|