DOM SISAKAN TRAUMA BAGI KORBAN PERKOSAAN

TPF Pelanggaran HAM dan Pemulihan Aceh Utara yang melakukan investigasi ke wilayah Samalanga, Rabu (16/9) menemukan berbagai kasus menyedihkan. Di antaranya tindakan perkosaan terhadap sejumlah wanita oleh oknum aparat. Di samping penyiksaan fisik yang menimbulkan cacat seumur hidup.

Tim A-I yang menyelusuri dua titik di Samalanga, berhasil mendata enam wanita yang saat itu masih gadis belia menjadi korban pelampiasan birahi oknum aparat yang bertugas selama operasi di wilayah ujung barat Aceh Utara itu. Wanita korban perkosaan di antaranya dialami Syam, warga Blang Panyang Samalanga. Tahun 1990, gadis Syam yang saat itu masih berusia 20 tahun digarap secara paksa dua oknum aparat di rumahnya sendiri, sedangkan ayahnya disiksa dengan tuduhan sebagai GPK. Akibat trauma, kemudian Syam yang sempat kawin dan melahirkan dua anak harus pula berpisah dengan suami. Saat ini janda dua anak itu dengan memendam penderitaan terpaksa melanglang buana dengan menjadi penjaja roti di kawasan Bireuen demi menghidupi dua anaknya yang masih bocah.

Korban perkosaan juga dialami Ny Kartini (19 tahun saat itu), janda anak tiga yang hidup miskin itu, pada tahun 1990 rumahnya didatangi dua oknum tentara (menurut warga dari Yonif 123/125 yang saat itu komandannya Sinaga). "Mana suami, saya jawab sudah meninggal," ujar Kartini saat didatangi dua oknum itu. Lalu kedua oknum itu memegangnya dan mempereteli pakaiannya. "Saya dicekak dileher, tapi saya lawan, lalu mereka memukul paha saya dengan senjata, kemudian diperkosanya," tutur wanita malang itu seraya mengaku masih merasakan sakit dan dendam atas perbuatan aparat keamanan tersebut.

Lebih memprihatinkan sebagaimana dialami seorang gadis (nama dan desanya dirahasiakan dengan pertimbangan etika-red) di kecamatan Samalanga. Wanita yang saat itu usianya masih 16 tahun digilir secara biadab dua oknum aparat di depan ibu dan adik-adiknya yang masih bocah. Wanita yang saat ditemui lagi hamil anak ketiga, awalnya tidak bersedia mengungkapkan kalau dirinya salah seorang korban perkosaan.

Wanita itu hanya ingat hari malapetaka adalah Minggu sekitar pukul 11.00 WIB. Di rumah panggung mereka yang jaraknya sekitar 100 meter dari jalan desanya, terdapat ibunya dan kedua adik laki-laki yang saat itu baru berusia enam dan lima tahun. Lalu datang dua tentara berseragam dengan senjata. Tanpa basah basih langsung naik ke rumahnya, ibu dan adiknya diusir supaya turun ke dapur, sedang gadis itu dipegangi. "Kami sangat ketakutan, tentara itu menembak ke loteng dan ke bawah sebanyak enam kali. Kami tidak berani bergerak," tutur ibunya.

Menurut pengakuan wanita itu, oknum itu menyalakan senjata karena ia meronta-ronta. Lalu setelah keduaoknu itu melampiaskan nafsu setannya, pergi meninggalkan wanita itu dalam keadaan tidak berdaya. Saat ini wanita itu sudah bersuami seorang duda beranak empat di desa tetanggannya.

Ayah wanita itu juga mengalami penyiksaan saat warga Blang Panyang dikumpulkan di lapangan oleh pasukan ABRI. Warga direndam, disuruh merayap dan berbagai penyiksaan lain. Sedangkan orang-orang tua dikumpulkan di Meunasa Blang Panyang. Mereka lepas dari siksaan dengan harus menebus nyawa dengan uang masing-masing sebesar Rp 30.000, sejak itu bagi warga Blang Panyang dikenal dengan kelompok "30.000".

Kasus perkosaan di desa itu tidak semuanya bisa diungkap. Karena ada beberapa wanita yang disebut-sebut menjadi korban tidak bersedia melaporkannya. "Biarlah Tuhan yang memberikan balasan buat mereka itu," kata seorang wanita yang tidak mau disebutkan namanya.

Sedangkan di Desa Ulee Kareng, Kecamatan Samalanga, tindakan perkosaan oknum aparat itu antara lain menimpa korban Ny Warni Ahmad. Korban lain, Nur (20), ayahnya Ahmad Sulaiman mengalami siksaan berat selama berbulan-bulan hingga saat ini hilang-hilang ingatan. Rumah mereka musnah setelah dibakar oknum aparat tahun 1991, dan kedua abang kandungnya ditembak ABRI dengan tuduhan GPK masing-masing tahun 1991 dan 1993, sedangkan seorang adik laki- lakinya meninggal karena trauma akibat teror dari oknum aparat keamanan. Nur saat ini resmi jadi janda miskin dengan dua anak setelah suaminya tidak kabar sejak beberapa empat tahun lalu.

Tim A-I yang terdiri dari Drs Ampuh Devayan, Syamsul Bahri, Ir Iskandar Arca, T Fachrial Dani SH, dr H Taqwallah, Basri A Gani SE, dan M Ali RCTI mendata ulang di wilayah Samalanga, menemukan 82 korban dengan klarifikasi dibunuh sebanyak 15 orang, 31 orang diculik atau hilang, 30 orang cacat akibat siksaan berat, 31 janda, enam diperkosa, 125 anak yatim usia sekolah, lima unit rumah dibakar, kehilanga uang sebanyak Rp 7,5 juta, emas 90 gram milik Nurhayati, dan tiga orang dibunuh GPL.(puh)

Sjamaun Gaharu: Usut Tuntas Kerusuhan Di Aceh

(BRP) Aparat tidak perlu takut dan jangan diam. Usut tuntas dalang kerusuhan di Lhokseumawe, Aceh Utara dan Idi, Aceh Timur, agar kejadian serupa itu tidak terulang lagi di daerah "Serambi Mekkah", pinta Mayjen (Purn) Sjamaun Gaharu.

Mantan Pangdam-I/Iskandar Muda ini menegaskan pula bahwa kerusuhan yang terjadi di dua wilayah itu bukan disebabkan adanya satu gerakan atau spontanitas massa, melainkan memang digerakkan orang-orang yang menginginkan terjadinya kekacauan atau punya maksud tertentu di Aceh.

"Dengan timbulnyaf kekacauan atau kerusuhan seperti itu, maka mereka akan mendapat keuntungan bagi kepentingan pribadinya," kata Sjamaun Gaharu kepada Waspada yang khusus berkunjung ke rumahnya Senin (14/9) di kawasan Seutui, Banda Aceh.

"Untuk mendapat keuntungan itu orang-orang ini menciptakan suasana yang tidak aman dan tentram di Aceh. Mereka menginginkan masalah itu berjalan terus. Makanya itu harus dituntaskan agar tidak terjadi lagi," ujar Sjamaun yang tampak masih kuat di atas kursi rodanya.

Tuntas yang bagaimana diinginkan? "Selesai semua masalah, habis. Apakah itu berkaitan adanya perbuatan kriminal yang harus diusut dan ditindak atau ada perbuatan yang bisa dimaafkan, ya dimaafkan. Pokoknya masalahnya tidak terulang lagi," tekannya lagi.

Pada masa dia menjabat Pangdam, Sjamaun menjelaskan pendekatan yang dilakukan adalah memahami manusiawinya lewat penerapan pola ke Aceh-an. "Waktu itu istilahnya dengan prinsipil bijaksana. Pola ini sangat ampuh sehingga sampai kini semua masalah terkubur, tidak timbul lagi. Misalnya masalah DI/TII, sudah selesai kan," tanyanya.

Beda dengan sekarang, masalah sudah hilang timbul lagi, seperti munculnya gerakan yang dipimpin Hasan Tiro, belum selesai itu, muncul masalah lainnya, lanjutnya seraya menegaskan bahwa antara gerakan Hasan Tiro dengan DI/TII tidak ada hubungan sama sekali. "Daud Beureueh (pemimpin DI/TII) sendiri menyatakan tidak ikut gerakan Hasan Tiro."

"Dulu waktu saya menjadi Panglima, Daerah Militer itu istilahnya SOB, militer yang berkuasa. Lain situasinya dulu dengan sekarang. Dulu komandan militernya dalam menerapkan pola menurut kemauan rakyatnya sendiri, tapi sekarang saya lihat tidak demikian. Jadi di masa saya bisa dibilang tidak ada yang mati," paparnya mengisahkan masa dulu.