REFORMASI MENJADI ALASAN UNTUK MENCAPAI TUJUANNYA

Peristiwa kekerasan dan pembunuhan yang terjadi belakangan ini agaknya menyadarkan kita bahwa ketidakadilan bisa membuat sebagian orang berubah menjadi monster pembunuh yang menakutkan. Ironisnya, reformasi bahkan menjadi alasan bagi sebagian orang untuk mencapai tujuannya.

Akan halnya Aceh, bergulirnya reformasi ditandai dengan dicabutnya Daerah Operasi Meliter di daerah ini. Barangkali saat inilah masyarakat Aceh untuk pertama kalinya merasa benar-benar merdeka, dalam arti tidak lagi dianggap sebagai daerah yang rawan yang harus terus diawasi dan diwaspadai.

Terbebasnya Aceh dari Daerah Operasi Meliter bukan berarti Aceh merdeka (baca terbebas) dari tugas berat untuk menghilangkan luka phisik dan mental yang dideritanya. Ratusan anak-anak menjadi yatim piatu, ratusan wanita menjadi janda, belum lagi wanita yang menjadi korban pemerkosaan, rumah-rumah yang hangus terbakar, dan lebih dari itu beban psikologis yang di rasakan masyarakat Aceh agaknya menjadi bagian yang tidak terlupakan dalam sejarah perjalanan rakyat Aceh. Terlebih lagi dengan keadaan ekonomi yang begitu parah belakangan ini membuat permasalan menjadi lebih kompleks. Semua ini memerlukan jalan keluar yang sudah pasti tidak mudah, keinginan yang sungguh-sungguh serta niat baik dari pemerintah untuk mengangkat kembali kondisi daerah Aceh yang sangat parah ini sangat signifikan bagi pengembalian kepercayaan rakyat Aceh terhadap pemerintah.

Sebagai daerah yang tidak pernah diduduki secara resmi oleh penjajah, Aceh memperoleh sebutan sebagai daerah modal. Peranan dan kontribusi Aceh untuk kepentingan nasional tidak diragukan lagi. Perang Aceh adalah perang yg paling berdarah dalam sejarah kolonialisme di Indonesia. Pesawat terbang pertama yang dimiliki oleh Indonesia adalah sumbangan dari rakyat Aceh. Sejarah mencatat bahwa Aceh tidak pernah absen dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tetapi sejarah juga mencatat bahwa Aceh adalah satu-satunya daerah yang selalu bergolak.

Kekacauan-kekacauan yang berlangsung akhir-akhir ini di daerah Aceh menyadarkan kita bahwa pencabutan Daerah Operasi Meliter agaknya tidak membuat keadaan menjadi lebih baik. Ini menunjukkan bahwa ada sebahagian masyarakat Aceh yang merasa tidak puas dengan apa yang telah terjadi. Hanya saja kita perlu melihat dengan bijaksana bahwa alasan-alasan dibelakang kekacauan-kekacauan tersebut lebih disebabkan oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap penyelesaian kasus-kasus yang berkaitan dengan Daerah Operasi Meliter. Belum lagi kalau kita berspekulasi bahwa ada yunsur kesengajaan dari pihak-pihak tertentu yang menginginkan agar daerah Aceh terus berada dalam keadaan “rawan”. Hal ini rasanya sangat penting untuk diwaspadai agar kesalahan yang sama tidak terulang lagi. Kenyataan bahwa Islam memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Aceh sangat mungkin menjadi suatu hal yang menambah kriteria “rawan” bagi daerah ini. Diakui atau tidak, opini yang berkembang diluar Aceh menunjukkan bahwa masyarakat Aceh ingin membentuk negara Islam yang terpisah dari wilayah Republik Indonesia. Lebih dari itu, sebagian orang berkomentar bahwa Aceh bisa menjadi pilot project untuk terealisasinya negara Islam di daerah lain di nusantara.

Gerakan-gerakan pengacau liar yang belakangan ini semakin gencar melakukan aksinya tidak bisa disebut mewakili keinginan rakyat Aceh. Dalam kenyataannya, kelompok ini malah manakuti rakyat dalam menjalankan misinya. Hal ini jelas membuat image Aceh menjadi semakin terpuruk. Kontribusi Aceh yang demikian besar bagi kepentingan dan kemajuan nasional seakan terlupakan oleh ulah segelintir orang yang tidak bertanggung jawab. Menyangkut GPL yang sekarang ini menjadi “duri dalam daging”, agaknya pemerintah harus lebih bijaksana dengan merangkul masyarakat dan para ulama dalam penyelesaiannya. Agaknya keputusan pemerintah, dalam hal ini Panglima ABRI untuk menjalankan pendekatan kultural dalam penyelesaian masalah di Aceh menjadi tanda berubahnya status “rawan” yang disandang Aceh.

Berbicara tentang Aceh, dengan sendirinya kita akan berbicara tentang kontribusi Aceh terhadap ekonomi nasional. Sejak ditemukannya sumber gas alam cair di Blang Lancang, Aceh Utara pada tahun 1974, Aceh menjadi salah satu pemasok devisa terbesar negara. Ironisnya, hasil eksploitasi sumber daya alam tersebut tidak benar-benar dirasakan manfaatnya bagi masyarakat Aceh pada umumnya, dan bagi masyarakat Aceh Utara pada khususnya. Lebih ironis lagi, sebagian besar desa tertinggal yang tercatat di Aceh berada di Aceh Utara, daerah dimana gas alam cair berada. Kehadiran industri-industri raksasa di Aceh gagal mengangkat perekonomian daerah. Hal-hal semacam ini tentu memicu rasa ketidakpuasan masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat. Distribusi hasil eksploitasi yang tidak adil yang berlangsung bertahun-tahun menjadi bukti sikap diskriminasi pemerintah pusat. Hal ini pada gilirannya akan menimbulkan sikap penolakan dan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Hal ini pada gilirannya akan berakhir pada sikap ekslusifitas daerah yang dapat berakibat buruk pada integrasi bangsa. Sebelum hal ini terjadi, langkah-langkah konkrit untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi masyarakat harus segera dilakukan.

Otonomi daerah yang dijanjikan juga tidak pernah terealisasikan. Pemerintah pusat selalu menjadi bagian yang penting dalam pengambilan keputusan didaerah. Pemilihan pejabat tinggi daerah misalnya, tidak pernah lepas dari “pengawasan” dan “restu” dari pusat. Hal-hal seperti ini jelas sangat tidak mendidik dalam usaha mengoptimalkan kemampuan daerah. Dalam kondisi perekonomian negara yang sangat lemah sekarang ini, sulit rasanya untuk merubah keadaan dalam waktu yang singkat. Akan tetapi, dalam waktu jangka pendek, agaknya bantuan bagi korban DOM adalah hal yang tidak bisa ditawar lagi. Walaupun hal ini tidak menghapus “luka” yang dialami masyarakat Aceh. Dalam waktu jangka panjang, perimbangan keuangan antara daerah dan pusat perlu ditinjau kembali serta pemberian otonomi tanpa syarat.

Pelaksanaan hal tersebut diatas juga belum bisa menyelesaikan masalah jika “pelaku kejahatan” terhadap rakyat yang tidak berdosa selama DOM berlangsung tidak diadili secara tuntas. Salah satu hal yang agaknya terlupakan dalam agenda pemerintah untuk mengangkat kembali kredibilitasnya dimata rakyat adalah penyelesaian secara hukum para pelaku kejahatan tersebut. Adalah hal yang sangat tidak masuk akal di negara yang mengaku sebagai negara hukum, tetapi pelaku kejahatan tidak diproses secara hukum. Dalam hal ini, agaknya pemerintah sekali lagi diuji untuk dapat benar-benar memenuhi janji yang diucapkannya sendiri, melindungi kepentingan rakyat, bukan kepentingan golongan tertentu.

Keinginan sebagian rakyat Aceh yang menginginkan referendum atau dibentuknya negara federal seharusnya ditanggapi dengan serius. Hal ini jelas diakibatkan oleh ketidak puasan yang memuncak terhadap pemerintah pusat. Sikap saling menyalahkan jelas tidak menyelesaikan masalah. Yang diperlukan adalah niat baik dari pihak-pihak yang terkait dan tindakan nyata kearah perbaikan diri dan penyelesaian permasalahan yang ada.

Wallahualam

Safrul