Arab Saudi Sekolahkan Anak Yatim Korban DOM Aceh

(BRP)Sekretaris Komite Solidaritas Hak Asasi Manusia (HAM) Daerah Istimewa Aceh (Koshamda) Dr Hasballah M Saad MS menyatakan, Pemerintah Arab Saudi telah menyatakan sikapnya memberi perhatian serius di bidang pendidikan terhadap yatim korban pelanggaran HAM selama berlangsungnya Operasi Militer di Aceh sejak 1989.

"Bukan saja memberikan bantuan berupa beasiswa, tapi bahkan jika perlu akan menyekolahkan para yatim tersebut ke Arab Saudi," ujar Hasballah dalam Forum Konsolidasi Nurani FP HAM yang dipandu Saifuddin Bantasyam SH MA di Pantai Lampuuk, Aceh Besar, kemarin. Forum yang dirangkaikan dengan acara refreshing itu dihibur Udin Pelor Cs, yang juga relawan FP HAM, dan diikuti 100 relawan Forum Peduli HAM gelombang I, II, dan III yang sudah pernah menginvestigasi kasus orang hilang/korban tindak kekerasan di Pidie, Aceh Utara, dan Timur sepanjang Juli, Agustus, dan medio September lalu. Forum yang dilangsungkan seusai shalat zuhur itu dibahani Penasihat FP HAM Drs Sayed Mudhahar Ahmad MSi dan Dr Hasballah M Saad MS yang kemarin baru tiba dari Jakarta.

Menurut Hasballah, penegasan tentang adanya bantuan tersebut disampaikan Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia kepada Koshamda Jakarta. Namun, seberapa besar bantuan beasiswa itu dan untuk berapa yatim --mengingat ada ribuan yatim korban DOM di Aceh-- masih dalam tahap pembicaraan antara Dubes Arab Saudi dengan Ketua Koshamda H Amran Zamzami SE yang rencananya dilaksanakan Jumat besok. "Saya kira, bantuan beasiswa yang demikian akan sangat membantu, apalagi ada yang dijanjikan --setelah diseleksi ketat-- untuk disekolahkan ke Arab," ujar Hasballah.

Begitupun Hasballah mengingatkan bahwa persoalan pelanggaran HAM di Aceh tidak lantas berakhir dengan mengalirnya berbagai bantuan dari dalam dan luar negeri untuk korban DOM. Juga tidak berakhir dengan pengahapusan DOM dan penarikan pasukan nonorganik. "Persoalan Aceh yang paling substansi adalah persoalan keadilan," ujar dosen FKIP Unsyiah ini. Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) ini menilai, Aceh yang telah banyak berjasa dan banyak memberi kepada republik justru diperlakukan secara tidak adil dalam konstelasi politik, ekonomi, dan Hankam. "Karenanya, bukan saja kita tuntut penegakan hukum yang seadil-adilnya terhadap para pelanggar HAM di Aceh, tapi bahkan kita minta otonomi yang seluas-luasnya."

Diperadilankan

Tentang penegakan hukum pasca-DOM, menurut Hasballah, Koshamda sedang menyusun agenda secara saksama untuk memperadilankan pelanggar HAM di Aceh selama DOM diberlakukan. Mungkin sebagai test case atau sekadar sampel, akan diadukan ke Denpom masing-masing dua kasus di Pidie, di Aceh Utara, dan di Aceh Timur. "Kita tak ingin, Kasus Aceh yang korbannya mencapai ribuan orang tanpa satu pun pelaku pembantaian itu yang diadili," ujarnya.

Bahwa kemudian di persidangan pelaku mengaku ia hanya orang suruhan atau menjalankan perintah, Koshamda bertekad akan menyeret siapa pun atasannya. "Jika ternyata sang atasan masih ada atasannya yang lebih tinggi, orang pada posisi paling puncak itu yang akan kita seret ke pengadilan. Pengadilanlah yang memutuskan siapa yang bersalah, sehingga kita tak perlu lagi terjebak dengan polemik yang hanya membuang-buang energi," ujar dedengkot LSM Aceh ini seraya mengingatkan para relawan dan rakyat Aceh agar waspada terhadap upaya-upaya pengalihan isu HAM ke isu lain yang tujuannya mengaburkan substansi persoalan.

Malapetaka nasional

Dalam paparannya yang lebih banyak mengungkap aspek sejarah keacehan, Sayed Mudhahar Ahmad menilai kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Aceh sejak 1989-1998 sebagai malapetaka nasional. "Bila banjir atau gempa yang menelan korban ratusan jiwa saja digolongkan pemerintah sebagai malapetaka atau musibah nasional, untuk kasus Aceh yang korbannya ribuan orang, Pemerintah Habibie harus berbesar jiwa mengakui tragedi ini sebagai malapetaka nasional," ujar Sayed yang mantan Bupati Aceh Selatan.

Menurut Sayed, sejarah pembantaian memang sering terjadi dan berulang di Aceh. Mulai dari pembunuhan rakyat Aceh di masa Kolonial Belanda yang dimotori oleh Kohler, di zaman fasisme Jepang, juga berlanjut pada Perang Cumbok, dan Peristiwa G30S/PKI. Namun, dari rangkaian peristiwa itu yang terjadi hanyalah pembunuhan demi pembunuhan. "Tidak disertai dengan perkosaan, pembunuhan wanita dan anak dalam kandungan, serta bentuk-bentuk penyiksaan dahsyat lainnya yang tak ada kata yang tepat dalam kamus untuk melukiskannya," ujar Sayed.

Untuk penyelesaian kasus Aceh, Sayed senada dengan Hasballah bahwa pelanggar HAM harus diseret ke pengadilan. Sehingga, sejarah pahit itu tak terulang lagi dan aparat keamanan berpikir puluhan kali untuk melakukannya, kendatipun itu atas perintah atasan. Selain itu, Sayed mengingatkan bahwa orang Acehlah yang paling tahu menyelesaikan masalah internnya sendiri.

"Karenanya, Aceh harus diberi otonomi yang seluas-luasnya," ujarnya. Sementara itu, Ketua Pelaksana Harian FP HAM, Ir Abdul Gani Nurdin mengatakan, acara tersebut untuk penyegaran, sekaligus membahani dan memberi penguatan mental kepada para relawan yang telah banyak berjasa mengungkap fakta-fakta pelanggaran HAM di Aceh. Sehingga, mereka tetap komit dan bersemangat dengan kerja-kerja serupa di masa datang. "Pekerjaan menjadi relawan jelas-jelas mengandung risiko luar biasa. Namun saya salut makin ramai saja orang yang bersedia menjadi relawan untuk Kasus Aceh," ujar Gani seraya menyebutkan saat ini FP HAM punya 17.500 relawan yang tersebar di berbagai negara.