Ungkapan Kaum Tionghowa Pasca Kerusuhan: "Mengapa Saya Yang Jadi Korban ?"

HARI Jumat (18/9) kemarin di Lhokseumawe terlihat situasi yang melegakan bahwa hampir sebgian besar toko yang mengalamai kerusakan waktu kerusuhan dua hari, 31 Agustus, 1 dan 2 September 1998, kecuali yang terbakar habis atau rusak parah dan hancurnya perlengkapan kerja, telah buka kembali. Pertanda aktivitas perdagangan sehari-hari berangsur pulih kembali.

Sebagian besar yang telah buka usahanya kembali itu adalah korban kerusuhan yang mengalami kerugian meski tidak sempat dijarah habis, paling sedikit rusaknya bangunan yang kerugiannya dibawah Rp 100 Juta dan tidak pula dilindungi ansuransi. Mereka berusaha agar jangan sampai kehilangan langganan atau pembeli yang selama ini berhubungan akrab. Tapi yang rusak berat dan kehilangan semua perkakas atau barang dagangannya, mau tidak mau harus mencari modal baru kembali.

Mengapa saya menjadi korban paling parah ? Tanya seorang pedagang yang bergerak dalam bidang perbengkelan dan dagang spare part mobil di Mon Gedong. Ia tidak yakin bahwa pengrusakan yang terjadi itu hanya dilakukan oleh perusuh begitu saja tanpa ada kepentingan. Sebab peralatan perbengkelannya dirusak, sedang yang lain tidak. "Kenapa saya punya ?", tanya seorang korban kerusuhan.

Umumnya korban yang paling parah adalah WNI turunan Cina. Memang ada yang mencoba mengadu pada paguyuban-paguyuban masyarakat Cina untuk membicarakan kelanjutan usahanya. Tapi mereka yang gesit langsung membuka usahanya dengan bantuan kolega baik yang mereka yang selamat dari kerusuhan di Lhokseumawe, maupun dari Medan.

Setelah kerusuhan itu baru jelas terlihat berbagai katagori korban- korban yang jatuh dan menarik perhataian publik. Misalnya kalau mau menyebut sasaran kerusuhan itu adalah pelampiasan dendam massa terhadap WNI turunan Cina, namun tidak sedikit toko Cina yang selamat dan hanya mengalami lemparan batu memecahkan jendela atau dinding, tapi tak mengalami kerusakan atau penjarahan habis.

Ini terlihat jelas pada deretan toko-toko spare part mobil di Mon Geudong dan Cunda. Ada toko spare part bukan hanya dibobol dan dirusak pintunya, tetapi mengalami penghancuran habis terhadap semua perlengkapan perbengkelan berteknologi komputer yang harganya cukup mahal. Sebuah toko di Mon Geudong mengalami kerugian lebih Rp 1 Milyar karena rusaknya perlengkapan, dan penjarahan barang-barang mobil yang harganya mahal. Namun hanya seratus meter dari lokasi itu terdapat toko spare part mobil milik WNI Turunan Cina yang lain, selamat bahkan aman karena lokasinya terletak sekitar pos keamanan. "Yang aneh-aneh, tapi nyata seperti itu memang terlihat jelas sehingga membuat orang banyak berpikir. Di deretan toko yang sama ada yang selamat ada yang hancur", tutur seorang warga di Mon Gedong. ***

Terlepas dari trauma dan ketakutan yang menghimpit kaum pedagang WNI turunan Cina korban kerusuhan itu akibat perlakuan yang mereka terima, mereka tetap memperlihatkan keteragaran jiwa yang luar biasa. Mereka dengan tegas mengatakan : "Kami akan bangkit kembali berusaha di kota ini meski dengan merangkak. Ya sebisanya', kata seorang korban di Mon Geudong.

Tapi kemauan dan tekad mereka yang tulus untuk hidup ditengah masyarakat seperti semula cukup besar meski tak selalu mulus jalannya. Ada ganjalan lain, misalnya persaingan antar pedagang sama-sama turunan Cina selalu mencari jalan untuk saling menjatuhkan. Memanfaatkan setiap kesempatan untuk menggulung rival usaha dagangnya. "Ini yang selalu jelek diantara pengusaha", kata seorang pedagang Cina di Mon Gedong.

Kalau mau melihat dengan hati nurani, tidak sulit mencari jawaban mengapa dari sekian pedagang atau toko spare part mobil, hanya beberapa yang parah, tapi ada yang selamat meski mengalami lemparan atau pengrusakan kecil. Kalau pun mengenai ini kebetulan terjadinya ada yang bernasib baik dan buruk, tapi dari fakta memang terlihat perlunya mendalami kesulitan yang dihadapi oleh korban-korban kerusuhan lalu. **** Dalam dua hari terakhir terlihat aktivitas perdagangan mulai hidup lagi. Kalau sebelumnya tidak satupun dari lima atau enam toko studio foto di Lhokseumawe yang buka sehingga warga terpaksa lari ke Batuphat, Krueng Geukuh, atau Bireun. Juga demikian halnya dengan toko spare part mobil. Tapi mulai Jumat kemarin, sebagian besar sudah buka. Kecuali beberapa di Mon Gedong yang mengalami kehancuran total dan menyedihkan sekali.

Pemilik toko terutama yang berskala kecil sudah mulai membangun kembali tokonya yang rusak. Itupun ditengah berbagai kesulitan karena pendanaan yang memerlukan tersedianya uang cepat untuk membangun dan sekaligus memodali kembali usahanya.

Tim Pemda yang melakukan penedekatan dengan pihak pedagang pun terlihat aktif menanyakan masalah dan berusaha sedapat mungkin memecahkannya kembali sehingga usaha bisa berjalan seperti sedia kala. Sebetulnya rata-rata korban butuh bantuan dana atau modal baru untuk meneruskan usaha mereka setelah barang-barang habis dijarah atau rusak. Menyangkut masalah utama yang menyebabkan belum bukanya sejumlah toko dan kegiatan usaha itu sebetulnya adalah "uang", Itu yang dicari oleh korban kerusuhan, tapi sulit mereka peroleh. "Tim kan naya melakukan konseling, memberi saran, bukan uang. Jadi tidak begitu penting bagi korban kerusuhan", kata seorang pedagang.