Kades Itu Diseret Lalu Didor di Depan Istrinya

24 September, 1998
12:47:37

Tuduhan sebagai pengikut GPK bisa tertuju kepada siapa saja selama pemberlakuan DOM (daerah operasi militer) di Aceh. Contohnya yang dialami Abdul Rani, 45 tahun, kepala Desa Rengkam, Kecamatan Matang Kuli, Aceh Utara. Rani ditangkap, disiksa, lalu dilepas. Namun, tak berselang lama, dia ditangkap lagi dan ditembak di depan istri serta anak-anaknya. Rumah beserta seluruh perabot desa dibakar habis. Berikut penuturan Rohani, 40 tahun, istri korban, yang menyaksikan sendiri kejadian itu.

Peristiwa itu terjadi sekitar bulan Haji tahun 1991. Seusai salat duhur di meunasa (surau) desa, suami saya didatangi beberapa orang berseragam tentara. Masih mengenakan sarung dan kopiah, suami saya langsung dipukul, bajunya dirobek-robek. Ia kemudian ditendang, lalu diinjak-injak di depan orang sekampung.

Setelah itu, lehernya dikalungi seutas tali seperti kerbau. Tentara kemudian menyeret dengan mobilnya. Orang kampung tidak ada yang berani menolong. Sebab, bisa-bisa mereka ganti ditembak. Saya sendiri hanya terpaku menyaksikan suami diseret seperti binatang.

Setelah menyeret beberapa puluh meter, tentara memasukkan suami saya ke dalam parit. Di situ, ia diinjak-injak, dipukul, juga dipopor senjata. Dipaksa berdiri lalu ditendang. Begitu berkali-kali dilakukan tentara, disaksikan penduduk desa.

Setelah itu, rombongan berseragam yang menggunakan dua mobil tersebut berlalu sambil tetap menyeret suami saya dengan seutas tali, diikatkan pada lehernya. Kedua tangannya diikat ke atas. Saya tidak tahu, mau melihat itu, lalu meraung-raung dan masuk rumah. Tentara membawanya ke pos Sattis Kamp Rancung.

Selama sebulan di Kamp Rancung, suami saya mengalami penyiksaan luar biasa. Menurut penuturannya, setiap malam, antara pukul 24.00 WIB hingga 04.00 WIB dini hari, ia selalu dibangunkan, lalu disiksa. Mulai dipukul, ditendang, diinjak-injak, bahkan setiap hari disetrum. Setelah lemas baru dicopot. Dipaksa bangun, lalu dihajar lagi. Menjelang pagi, tubuhnya direndam air WC. Begitu selama satu bulan.

Setelah satu bulan disiksa, suami saya dilepas. Tapi, kondisi fisiknya tidak normal. Jalannya pincang. Bahu dan dadanya sering sesak akibat deraan penyiksaan itu.

Seperti korban lainnya, suami saya dituduh membantu GPK. Padahal, itu tidak benar dan tentara hanya mengarang. Sebagai kepala desa, suami saya tidak pernah berurusan dengan GPK, apalagi membantu. Suami saya seperti warga desa lain, hanya petani biasa. Jadi, tuduhan itu hanya mengada-ada.

Saat dilepas pun tentara masih mengancam suami saya untuk tidak menceritakan apa yang dia alami kepada semua orang, termasuk keluarganya. Tapi, diam-diam suami saya tetap menceritakan apa yang dialami selama disekap di pos Sattis Kamp Rancung. Saat dilepas, suami saya disuruh mencari anggota masyarakat yang suka membantu GPK. Tapi, karena suami saya memang tidak tahu dan tidak melihat ada anggota masyarakat yang dicurigai membantu GPK, ia pun tak bisa memberi informasi siapa-siapa orang yang membantu GPK kepada tentara.

Tentara rupanya marah. Sekitar Februari 1992, tanggalnya saya lupa, mereka datang kembali ke desa kami membawa dua mobil. Maksudnya, ingin menangkap suami saya. Tapi, suami saya sudah jera dan tidak tahan disiksa kedua kali. Sebelum ditangkap, suami saya memilih kabur, tapi tentara tahu dan menembak beruntun sampai tiga kali. Satu mengenai punggung tembus dada, satu kena paha, dan satunya lagi mengenai pinggang.

Setelah itu, suami saya dibuang ke parit (Rohani menunjuk parit di depan rumahnya). Di situ suami saya masih diinjak-injak lalu ditendang. Dalam keadaan sekarat, suami saya dilempar ke bak mobil. Sebelum berangkat, tentara mengumpulkan warga desa sambil marah-marah tak karuan.

Sebelum meninggalkan desa, tentara membakar rumah kami beserta seluruh isinya, seperti tape recorder dan perabotan rumah tangga. Barang inventaris desa, seperti, gelas dan piring pun ikut ludes. Satu-satunya kereta (sepeda motor) saya juga dibawa tentara. Kami hanya menangis, melihat rumah kami dibakar.

Esoknya, kami didatangi tentara agar mengambil jenazah suami saya. Diantar beberapa pengurus desa, kami mengambil mayat suami ke Kamp Rancung dalam kondisi mengenaskan. Tentara benar-benar kejam. Mereka tidak punya hati.

Sejak rumah dibakar, kami menumpang ke tetangga dan saudara-saudara. Sampai akhirnya, kami bisa membangun rumah meski tidak sebaik rumah sebelumnya. Pendidikan anak-anak pun telantar, paling hanya tamat SD karena saya hanya buruh tani.

Bahkan, anak bungsu saya, Abdul Halim, (saat itu berusia tujuh tahun) dalam gendongan saya melihat bapaknya ditembak dan dianiaya. Akibatnya, dia ketakutan dan stres. Kini, dia tidak mampu berbicara setelah tahu dan melihat ayahnya ditembak tentara. (Bahari)
[Jawa Pos]