Sebagian Besar Korban Jemput Paksa Di Aceh Tidak Kembali



SABTU, 29 AGUSTUS 1998

(LHOKSEUMAWE) Sebagian besar warga masyarakat Aceh yang dikategorikan hilang setelah "jemput paksa" orang tak dikenal sebagai ekses daerah operasi militer (DOM) sejak tahun 1989 sampai Agustus 1998, hingga kini dilaporkan belum diketahui nasibnya.

Beberapa orang keluarga korban yang ditemui Antara pertengahan pekan ini di kediamannya kawasan Kuta Makmur, Kabupaten Aceh Utara mengakui semua keluarga mereka yang pernah "dijemput paksa" hingga kini masih misterius.

"Orang tua saya kini sudah stress memikirkan salah seorang anggota keluarga kami yang belum kembali setelah dijemput orang tak dikenal sekitar pertengahan tahun 1992," kata salah seorang keluarga yang enggan disebutkan namanya.

Kecamatan Sukma Makmur, sekitar 15 Km dari Lhokseumawe, ibukota Aceh Utara dikabarkan termasuk salah satu daerah yang banyak orang hilang dan tindak kekerasan selama digelarnya operasi militer dengan sandi "jaring merah".

"Kami pasrah, karena semua korban yang 'dijemput paksa' orang tidak dikenal itu sebagian besar tidak kembali, baik pria maupun wanita," kata seorang wanita setengah baya yang juga keluarganya belum kembali setelah dijemput orang tidak dikenal sekitar Maret 1992.

Dari keterangan para keluarga korban itu, umumnya mereka meyakini suami, anak, menantu atau isterinya yang "dijemput paksa" tersebut sudah "dihabisi" oleh orang yang tidak bertanggungjawab.

"Kami yakin keluarga kami tidak ada yang selamat, setelah Tim Komnas HAM pimpinan Baharuddin Lopa berhasil menemukan sejumlah kuburan massal orang tak dikenal di Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur, beberapa waktu lalu," kata wanita beranak tiga itu.

Berdasarkan pengalaman selama ini, setiap korban yang "dijemput paksa" tidak kembali setelah enam bulan, diyakini mereka telah "dihabisi".

Pihak keamanan di wilayah Aceh Utara yang ditanya tentang nasib orang hilang setelah "dijemput paksa" orang tidak dikenal kini melakukan aksi "tutup mulut", sehingga data orang hilang di daerah operasi "jaring merah" itu tidak diketahui.

Komandan Korem-011/Lilawangsa, Kol (Inf) Dasiri Musnar yang ditanya sekitar nasib dan jumlah orang hilang di daerahnya mengakui tidak mengetahui, karena doktrin ABRI tidak pernah "menghalalkan" perbuatan sadis.

"Masyarakat boleh tidak percaya, tetapi yang sesungguhnya saya benar-benar tidak tahu tentang adanya tindakan kekerasan atau perlakukan sadistis terhadap masyarakat yang tidak berdosa," katanya.

Data versi Tim Komnas-HAM yang turun ke Aceh dan mengunjungi tiga daerah yang diberlakukan operasi "jaring merah" itu, yakni Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur menyebutkan, selama sekitar sembilan tahun digelar DOM ditemukan 163 orang hilang.

Selain orang hilang, Tim Komnas-HAM juga mencatat 368 orang dianiaya, 3.000 janda akibat suaminya meninggal atau hilang, 15.000-20.000 anak yatim, 102 bangunan, termasuk perumahan rakyat dibakar dan 102 wanita korban perkosaan.

Patah paha

Tengku Nasir (41), salah seorang korban "jemput paksa" yang selamat mengisahkan nasib tragis yang menimpa dirinya, hingga kini menderita cacat seumur hidup, setelah sekitar enam bulan menerima penyiksaan siang dan malam.

Penduduk Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara itu dipanggil aparat keamanan sekitar 1991 --tanpa alasan yang jelas, mengaku mendapat perlakuan tidak manusiawi setelah dibawa pada salah satu tempat yang juga tidak diketahui lagi lokasinya.

Pengalaman yang sama juga diceritakan oleh salah seorang tokoh masyarakat Kecamatan Sawang, Aceh Utara, Djaelani Hasan (50) tentang nasib tragis yang menimpa dirinya diduga karena salah pengertian.

"Para pelaku yang dikategorikan pelanggaran HAM itu kebanyakan korban mengenalnya, termasuk dalam kasus pelecehan seksual, namun mereka tidak berdaya," kata Djaelani Hasan.