PEMERINTAH DIDESAK ADILI PELANGGAR HAM ACEH

PEMERINTAH DIDESAK ADILI PELANGGAR HAM ACEH

JAKARTA (MeunaSAH, 11/8/98), Pencabutan status wilayah Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dan pembentukan Tim Pencari Fakta Dewan Perwakilan Rakyat (TPF-DPR RI) belum cukup bagi masyarakat Aceh. Tokoh-tokoh masyarakat Aceh, mahasiswa, dan kalangan aktivis HAM serta praktisi hukum, yang dihubungi MeunaSAH sepanjang awal pekan ini, mendesak pemerintah segera mengungkap pelaku pelanggaran HAM di Aceh dan segera mengadilinya.

Ketua Masyarakat Aceh di Jakarta Ir Mustafa Abubakar seusai melakukan Shalat Dhuhur berjamaah dengan masyarakat Aceh di Mesjid Al Azhar, Minggu (9/11) menegaskan, masyarakat Aceh bersyukur dengan pencabutan wilayah Aceh sebagai DOM,. Namun, tindakan pemerintah tersebut mesti diikuti dengan pengusutan pelaku dan proses hukumnya yang menyertai pelanggaran HAM tersebut.

Mustafa tak secara eksplisit menjawab tentang adanya pernyataan jumlah korban hilang dan tewas di Aceh selama berlakunya DOM tahun 1989-1998 yang mencapai angka 2000. "Secara kualitatif ada (pelanggaran HAM -Red), tapi secara kuantitatif sedang diselidiki," ujarnya.

Abubakar juga tidak menampik kekurangpercayaan masyarakat Aceh terhadap TPF-DPR RI yang dinilai belum optimal bekerja, antara lain tidak mengunjungi tempat-tempat penting yang disinyalir sebagai ladang pembantaian atau dikenal dengan "Bukit Tengkorak". Ia mengusulkan agar TPF-TPF lainnya yang dibentuk LSM-LSM dan pemerintah daerah setempat dapat bekerja-sama dengan TPF-DPR untuk melakukan cross-check, sehingga akurasi data semakin mendekati kebenaran.

Sementara itu, aktivis HAM Desmon J Mahesa menilai, bahwa pernyataan meminta maaf dari Menhankam/Pangab jenderal TNI Wiranto sebagai "belum cukup", dan harus diikuti dengan langkah konkrit, yaitu memeriksa dan mengadili para pelaku pelanggaran HAM di Aceh. "Ini perlu dilakukan agar tidak menjadi preseden. Lain waktu ada pembantaian, lalu selesai pula dengan meminta maaf," katanya.

Menurut dia, jika pemerintah melakukan pengusutan hukum untuk kasus penculikan aktivis dan penembakan mahasiswa Trisakti, mengapa hal serupa tidak dilakukan untuk Kasus Aceh, Tanjungpriok, Kerusuhan 12-15 Mei 1998, Timor Timur, Lampung, Irian Jaya dan Peristiwa 27 Juli.

Sedangkan praktisi hukum Bambang Widjojanto mendesak pemerintah agar menyelesaikan kasus Aceh tidak hanya sekadar secara "politis", tapi juga secara hukum. Dengan melakukan penyelesaian secara hukum terhadap kasus Aceh, lanjutnya, artinya pemerintah tidak bersikap ambigu dan lebih jauh dituding melakukan "standar ganda" dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan negara terhadap warganya.

Sependapat dengan Desmon, Widjojanto mengharapkan seluruh kasus kekerasan negara terhadap warganya, agar diselesaikan tuntas hingga proses pengadilan. Ditanya tentang kemungkinan gugatan oleh mereka yang kehilangan anggota keluarganya, Bambang melihat hal itu sebagai sesuatu yang dimungkinkan.

"Jika membaca laporan adanya warga yang dieksekusi di depan warga desa dan anggota keluarganya sendiri, maka itu sudah memenuhi unsur pidana. Ada saksi dan tentu warga dapat mengidentifikasi kesatuannya. Lebih jauh Pangdam, Pangab dan Pangti saat eksekusi terjadi dapat dimintai pertanggung-jawabannya," ucapnya.***


GUB. ACEH MINTA PRESIDEN MENCABUT DOM

BANDA ACEH - Gubernur Aceh, Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud akhirnya minta kepada Presiden agar meninjau kembali dan mengakhiri operasi "Jaring Merah," yang oleh masyarakat lebih dikenal dengan istilah "Daerah Operasi Militer:DOM", serta menarik kembali satuan ABRI dari luar yang saat ini masih bertugas di Dista Aceh.

Surat permintaan Gubernur Aceh bernomor 520/16588 bertanggal 29 Juli 1998 itu telah dikirim dengan tembusan antara lain Ketua DPR/MPR, Menko Polkam, Mendagri dan Menhankam/Pangab, kata Kahumas Pemda Aceh, Drs. H. Natsir Ali kepada ANTARA di Banda Aceh, Jumat.
Dalam surat itu, katanya, Gubernur melaporkan latar belakang perlunya pencabutan DOM, setelah mencermati demikian besar tuntutan masyarakat Dista Aceh untuk segera mengakhiri status DOM yang telah berlangsung sejak 1991.
Berkait dengan itu, Gubernur memberi laporan latar belakang adanya "DOM." Menurut Syamsuddin, Status DOM mula-mula dilatarbelakangi oleh kejadian gangguan keamanan di Wilayah Aceh oleh kelompok bersenjata pada tahun 1989, yang dikenal dengan Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK).

Kegiatan GPK itu semakin meningkat setelah merebut 21 pucuk senjata dan menewaskan 20 orang prajurit ABRI yang sedang melaksanakan kegiatan AMD pada tahun 1991. Wilayah kegiatan GPK yang mula-mula berada di Kab. Aceh Utara kemudian meluas ke Kab. Aceh Timur dan Kab. Pidie. Menghadapi kondisi yang demikian dan dikhawatirkan dapat mengganggu kelancaran pembangunan di daerah, maka Gubernur Aceh pada tahun 1991 mengajukan permintaan bantuan khusus kepada Presiden, berupa tambahan satuan ABRI dari luar daerah untuk membantu memulihkan keamanan wilayah.

Sejak itu di Dista Aceh diberlakukan operasi "Jaring Merah," yang berlanjut sampai sekarang dan masyarakat lebih mengenal dengan istilah DOM, katanya. Selanjutnya, seiring dengan perjalanan waktu, kondisi keamanan di Aceh saat ini relatif semakin baik. Hal itu ditandai dengan lancarnya pelaksanaan pembangunan di daerah. "Kehadiran satuan ABRI yang berasal dari luar Aceh pada saat ini justru dirasakan mengganggu karena tindakan-tindakan yang dilakukan menjadikan masyarakat merasa tidak aman," sambungnya.

Kembali ke halam utama