Kini Giliran Cuak Yang Dikejar & Dihabisi

Setelah rampungnya operasi militer di Aceh, cuak, orang-orang yang dianggap membantu kegiatan militer diuber dan dianiaya. Bahkan,beberapa di antara mereka dibunuh. Cuak merupakan bagian dari konflik panjang di Aceh.

RUSLI Basyah, 45 tahun, barangkali tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berakhir tragis. Sekitar pukul 09.00, Senin pekan lalu, ia tengah berbaring di kamarnya, ketika tiba-tiba muncul keributan di luar rumahnya. "Bunuh Rusli! Bunuh!" begitu teriakan massa di luar. Penduduk Desa Kulam Ara, Kecamatan Mutiara Kabupaten Pidie, itu terkesiap. Namun, belum sempat ia bereaksi, sebagian massa yang kesetanan itu telah merangsek masuk rumah.

Lelaki separuh baya itu tak berdaya ketika massa menyeretnya ke halaman rumah. Istri dan anak-anaknya hanya bisa meraung-raung. Namun, massa yang telah beringas itu tidak peduli. Pukulan kayu, hantaman batu, dan sabetan senjata tajam bertubi-tubi mendarat ke tubuh Rusli. Ayah enam anak itu pun rebah ke tanah. Namun, massa yang tampak memendam kebencian atas Rusli itu belum puas. Mereka merobohkan rumah Rusli, lalu membakarnya. Ludes.

Kepala Desa Kulam Ara, Muhammad Isa, sebagaimana dilaporkan Serambi Indonesia, tak bisa mencegah amuk massa itu. Saat kejadian tersebut, Isa tak ada di lokasi. Tapi ia mendengar aksi kekerasan itu, dan bergegas melapor ke kantor polisi, sekitar enam kilometer dari desa tersebut. Saat polisi datang, aksi pengeroyokan sudah selesai. Tubuh Rusli sudah tak bernyawa.

"Saya mencoba mencegahnya, namun mereka terus saja mengamuk. Saya bisa berbuat apa?" kata Hanifah Ahmad, 40 tahun, istri Rusli. Tinggallah kini Hanifah yang hanyut dalam kesedihan. Ia harus menghidupi enam anak berumur 7 bulan hingga 14 tahun.

Cuak, itulah tuduhan yang ditimpakan atas diri Rusli. Dalam istilah Aceh, cuak berarti mata-mata, alias informan. Kata ini memiliki riwayat kelabu dalam sejarah panjang Aceh. Isu cuak kembali mencuat selama Tanah Serambi Mekkah itu berstatus sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), 1989-1998. Pada masa itu, Rusli dikenal akrab dengan pihak militer. Apakah itu berarti ia seorang cuak? Tak jelas. Yang pasti, ia sudah menjadi korban pengadilan massa.

Membantu Operasi

PERBURUAN cuak hingga saat ini masih berlangsung di Aceh. Bila ini dibiarkan, tentu angka korban akan terus bertambah, dan boleh jadi akan menimpa pula orang yang tak berdosa. Tapi massa, yang merasa telah disakiti, punya kecenderungan menjalankan hukumnya sendiri manakala hukum negara dianggap tak berpihak kepada mereka.

Target perburuan kali ini adalah para cuak yang dianggap terlibat dalam Operasi Jaring Merah -nama manis untuk sandi operasi militer yang sangat berdarah. Operasi ini dijalankan atas nama memberangus Gerakan Aceh Merdeka di Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Operasi itu ditutup pada Agustus lalu. Semua personel militer ABRI, kecuali yang reguler bertugas di daerah ini, ditarik ke barak masing-masing.

Meski operasi militer sudah dinyatakan usai, luka yang ditimbulkannya tak serta merta sirna. Banyak anak yatim dan janda yang telantar. Banyak orang yang masih tak berketentuan rimbanya. Dan "penyelesaian hukum" atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi seperti terkatung-katung. Di tengah situasi inilah, segala dendam dan sakit hati ditimpakan kepada para cuak -yang dalam kata sinis disebut pula si kaki busuk.

Menurut Dr. Muhammad Gade Ismail, ahli sejarah di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, di mata orang Aceh pada umumnya cuak dicap sebagai pengkhianat. Sementara itu, Dr. Ahmad Humam Hamid, sosiolog dari Universitas Syiah Kuala, menekankan adanya konotasi "jahat" dalam kata itu. Namun, pihak militer menyebut mereka "tenaga pembantu operasi". Mereka direkrut dari kaum sipil.

Keberadaan cuak menjadi objek penyelidikan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Aceh. Menurut penelusuran relawan Forum Peduli HAM (Hak Asasi Manusia) Aceh, yang dipimpin Abdul Gani Nurdin, di tiap kecamatan wilayah operasi militer ada dua sampai lima cuak aktif. Di Pidie, wilayah seluas 3.415 kilometer persegi dengan populasi 457.000 jiwa, ada 23 kecamatan. Menurut Gani, setidaknya terdapat 50 cuak di daerah itu. "Semua ekses operasi militer di Aceh tak lepas dari peran para cuak," katanya.

Korban yang jatuh selama operasi militer itu berlangsung, dalam catatan Forum Peduli HAM Aceh, adalah 1.838 orang hilang, 1.994 jiwa terbunuh, dan 2.449 lainnya mengalami siksaan secara fisik. Lebih jauh lagi, 115 wanita mengaku diperkosa, sedangkan 38 orang lainnya mengalami pelecehan seksual. Kerugian materiil: 542 rumah dibakar, 5 kilogram emas dijarah, 51 unit sepeda motor, serta 36 unit mobil dirampas. Kerugian total Rp 1,62 milyar. Memang, angka-angka itu belum mendapat klarifikasi dari semua pihak yang berkepentingan.

Orang-orang yang dituduh sebagai cuak pun kini dalam keadaan terancam dan tak berdaya. Dua lembaga bantuan hukum (LBH), yakni LBH Seuramoe Meukkah dan LBH Pemuda Yustisia, keduanya di Pidie, pun tidak ragu-ragu mengeluarkan daftar cuak. Sejauh ini, ada 18 orang yang dituding sebagai cuak di Pidie, tiga di antaranya wanita. Sayed Abdullah, Ketua LBH Seuramoe Meukkah, mengaku sudah menyerahkan nama-nama itu ke polisi. Ia berniat mempraperadilankan polisi jika laporan itu tak ditanggapi.

Raja Menyiksa

ADA tiga nama yang santer disebut-sebut sebagai cuak Pidie: Raja, Soneta, dan Rambo. Raja itu hanya nama panggilan bagi pria berkulit gelap, berambut ikal, dan beristri dua itu. Dalam pelbagai versi laporan -mulai LSM hingga tim pencari fakta (TPF) bentukan Pemerintah Tingkat II Pidie- disebut sebagai cuak. Ia melakukan tugas informan itu bersama salah seorang istrinya, Sri.

Bagi Raja, ketika Operasi Jaring Merah masih berlangsung, status sebagai cuak tak harus disembunyikan. Ia tak segan-segan tinggal di Rumoh Geudong, sebuah Pos Komando Militer yang terletak di Kecamatan Glumpang Tiga, Pidie. Warga setempat menyebut bangunan itu sebagai rumah penyiksaan, bahkan rumah jagal. Raja disebut-sebut cuak tulen. Dalam salah satu versi laporan -yang ditulis Kelompok II (TPF) Pidie pimpinan Syahrul Nurfa- lelaki berwajah angker itu tidak segan menyiksa ayah kandungnya sendiri, Teungku Hamzah.

Ketika itu, 1994, Teungku Hamzah dijemput petugas. Ia dituduh membantu mengobati salah seorang bangkotan Gerakan Aceh Merdeka bernama Robert. Raja melaporkan ulah bapaknya itu. Hamzah ditahan di Pos Satuan Taktis, di Kota Bakti. Di situlah konon ia disiksa Raja. Kisah penyiksaan itu pun didengar tim Syahrur Nurfa ketika melakukan investigasi ke Desa Pulo Pantee, Kecamatan Titeu Keumala, Pidie, Selasa dua pekan lalu.

Raja, meski namanya demikian, bukan turunan ningrat. Ia dijuluki sebagi "Raja", karena ketika kanak-kanak kepalanya lebih besar dibandingkan dengan kepala anak sebayanya. Tamatan madrasah tsanawiyah negeri yang pernah belajar di sebuah pesantren di Arongan, Samalanga, Aceh Utara, itu kabarnya berdekat-dekatan dengan militer karena penghasilannya sebagai petani tidak memadai untuk membiayai hidupnya. Jadilah ia informan yang galak. "Ia telah menjadi anak durhaka," kata Hamzah. Raja sendiri kabur entah kemana, setelah status Aceh sebagai DOM dibubarkan pada Agustus lalu.

Tak cuma Hamzah yang mengalami nasib apes akibat ulah Raja. Tersebutlah, Ainsyah, warga Murong Cot, Kecamatan Sakti. Bersama puteranya, Ardiansyah, yang ketika itu masih 7 bulan, ia dijemput petugas keamanan dari rumahnya. Ainsyah kemudian dibawa ke Rumoh Geudong. Di situ ternyata sudah menunggu Raja. Oleh si cuak ini, Ainsyah ditanyai ihwal suaminya yang dituduh terlibat Aceh Merdeka -terutama soal penyimpanan senjata api. "Saya tak tahu, tapi didesak terus," kata Ainsyah.

Karena Ainsyah terus menolak, bayi yang masih menetek itu direnggutnya, lalu digantung dengan kepala di bawah, selama beberapa saat, di bawah terik matahari. Tentu, Ainsyah menangis dan memohon agar bayinya tak disiksa seperti itu. Ardiansyah selamat. Tapi, menurut Ainsyah, Raja kemudian menelanjanginya, lalu menyengat kemaluannya dengan listrik.

Tokoh lain yang dituduh sebagai cuak adalah Rambo. Penduduk Desa Blang Kumot, Kecamatan Sakti, ini mengaku pada TPF Pidie bahwa ia pernah dipersenjatai dengan sepucuk pistol. Ia beroperasi di wilayah Blang Kumot Tunong, Blang Kumot Baroh, dan Lam Ujong. Rambo juga membantu di kawasan Murong Cot dan Lho'panah.

Ketika bertandang ke rumah Rambo, tim Syahrul menemukan sebuah sepeda motor yang kemudian dikenali sebagai milik masyarakat yang dirampas petugas ketika status DOM masih berlaku di Aceh. Rambo mengaku mendapat sepeda motor itu dari aparatur, selain mendapat imbalan duit. "Duit itu hanya semacam uang rokok," katanya. Kepada Syahrul, ia juga menyebut sejumlah nama lain yang dikatakannya sebagai cuak.

Cuak lain yang cukup terkenal di Pidie adalah Soneta. Penjual mi di Tangse ini memang penggemar berat musik dangdut Rhoma Irama. Karena itu, ia memajang nama "Soneta" pada gerobak minya. Lelaki yang dikenal sebagai cuak aktif ini sekarang raib.

Ada satu nama lain yang sempat disebut-sebut pula sebagai cuak di Pidie, yakni Mohammad Yacob Tijue, 40 tahun. Sehari-hari, ia pegawai Rumah Sakit Umum Sigli. Ia masuk daftar, karena diketahui sering melakukan kontak dengan aparatur militer. Bahkan, dikabarkan, acap kali ia bertandang ke Rumoh Geudong.

Tapi Yacob membantah tudingan itu. Dengan nada geram ia mengatakan akan mencari dan menuntut orang yang menyebutnya sebagai cuak. Ia mengakui bahwa dirinya berhubungan dengan aparatur militer. Sebagai paramedis, katanya, ia harus berhubungan dengan satuan militer itu, antara lain untuk menyediakan obat-obatan. Sesekali, ia mengusahakan pinjaman mobil. "Pada situasi saat itu, tak mungkin kita menolak membantu mereka," kata ayah tiga anak ini.

Di dua wilayah operasi yang lain, yakni Aceh Utara dan Aceh Timur, juga dijumpai adanya cuak. Menurut Wakil Ketua Kelompok B TPF di Aceh Utara, Yusuf Ismail Pase, Rabu pekan lalu pihaknya menyerahkan 61 nama "tersangka" cuak kepada Kepala Kepolisian Resor Aceh Utara, Letnan Kolonel Iskandar Hasan. Mereka berasal dari sembilan kecamatan. Cuak yang beroperasi di 17 kecamatan lainnya tengah dicari.

Di antara para cuak itu, yang populer adalah, sebut saja, Arbi Agip. Ia dikenal kurang ajar: gemar membakar rumah, menyiksa, dan meminta tebusan untuk yang ditahan. Selain Arbi, masih ada beberapa nama lain. Sebutlah, cuak dengan nama palsu Azli Razi (Matang Mane), Nurman Gabok, dan Ponam Bayet (Lho'sukon).

Di Aceh Timur belum ada data tentang cuak. Namun, sejumlah nama sudah dikenal sebagai "kaki busuk". Misalnya, Abdurrahman, yang sudah tewas dibantai di Peudawa Idi Rayeuek, Aceh Timur. Juga ada yang dikenal dengan nama palsu Abdul. Kapal kecil milik pria berperawakan tinggi, berkulit hitam, dan berambut gondrong ini sudah dibakar nelayan setempat yang memendam dendam.

Pemerasan

UANG, kekuasaan, dan kesempatan berlagak menjadi pendorong seseorang menjadi cuak. Menurut seorang mantan cuak yang jati dirinya tak bisa diungkapkan, ketika berlangsungnya operasi militer mereka merasa dirinya lebih dari masyarakat umumnya. "Banyak orang yang meminta tolong kepada kami untuk berhubungan dengan aparatur," katanya, dengan pahit.

Namun, si tokoh yang sekarang harus sering menyamar ini keberatan bila ia disebut cuak. Apa yang ia lakukan, katanya, semata-mata untuk membantu pemerintah menumpas gerakan separatis Aceh Merdeka. Ia mengaku tak dibayar. Tambahan duit ia peroleh dari uang "terima kasih" masyarakat yang ditolongnya.

Muchtar Hasan, penduduk Desa Meugit, pernah menjadi korban uang terima kasih. Sebagaimana dilaporkan ke LBH Seuramoe Meukkah, Muchtar pernah dimintai emas 15 gram oleh seorang cuak yang sehari-hari bekerja menjadi mantri kesehatan. Saat lain ia, ditodong emas 6 gram oleh seorang cuak Desa Adan. Setelah memberikan logam mulianya, ia lolos dari jeratan Jaring Merah.

Sementara si cuak menyebutnya sebagai uang terima kasih, warga pun menyebutnya sebagai uang pemerasan. Menurut seorang warga yang pernah terpaksa mengeluarkan duit, suatu saat, tanpa tahu dari mana asal-usulnya, muncul tuduhan dari tentara bahwa ia adalah anggota Aceh Merdeka. Ia diancam akan disiksa bersama keluarganya. Di tengah kepanikan itu, tiba-tiba muncul "biro jasa" dari si cuak tadi. Setelah mengeluarkan sejumlah duit, tuduhan terhadapnya itu pun hilang.

Kata Gade Ismail, ada motivasi lain yang mendorong mengapa seseorang menjadi cuak: balas dendam. Karena merasa tak mampu menghadapi saingan politiknya, seseorang lalu menghubungi musuh, kemudian diajak bekerja sama untuk membasmi si lawan. Ada kalanya, dendam ini karena soal sepele. Dalam kisah perjuangan rakyat Aceh, terungkap peristiwa seorang istri yang menjadi cuak karena kesal ditinggal kawin oleh suaminya, seorang gerilyawan anti-Belanda di Samanhani, Aceh Besar, pada 1920. Si istri menghubungi Belanda, dan bekas suaminya itu mati tertambak. Namun, ada juga yang menjadi cuak karena tak tahan menjadi orang miskin. Menurut Gade, cuak bermotif ekonomi ini lebih banyak ditemui di zaman Orde Baru.

Laksamana Prancis

CUAK disebut dengan berbagai nama di Aceh. Ada yang menyebutnya sebagai panglima tibang, pang bayak, lhoh, phek, panah, dan apasuh -yang terakhir adalah pelesetan dari Kopassus. Banyaknya sebutan untuk satu profesi ini menunjukkan bahwa cuak memang merupakan istilah yang sudah akrab dalam sejarah Aceh, yang penuh pergolakan.

Menurut Sosiolog Ahmam Humam Hamid, cuak itu seperti salju laiknya bagi orang Eskimo: begitu akrabnya sehingga dikenal dengan berbagai sebutan. Hal ini juga menunjukkan, konflik di Aceh sudah cukup panjang dan hampir selalu melibatkan cuak.

Peran cuak dalam konflik Aceh cukup besar. Menurut penelitian Muhammad Gade Ismail, sejarawan Aceh, tewas atau tertangkapnya pahlawan di Aceh dalam melawan Belanda selalu diawali dengan informasi dari cuak. Contohnya adalah tewasnya Teungku Chik di Tiro. Pahlawan besar itu meninggal akibat diracuni "pengikutnya" yang ternyata seorang cuak.

Tewasnya Teuku Umar juga diawali informasi dari cuak. Tatkala itu, Teuku Umar, pemimpin perlawanan yang juga pedagang dari pantai barat Aceh, hendak masuk ke Meulaboh untuk menggempur Belanda. Sebelum masuk Meulaboh, ia berpapasan dengan seseorang. Kepada orang tersebut, Umar menyapa, "Besok pagi kita minum kopi di kedai Meulaboh." Ucapan Umar itu diteruskan ke tangsi serdadu Belanda. Pada esoknya, serdadu Belanda mengepung kedai kopi itu, dan memberondongnya dengan tembakan. Seseorang yang sedang menghisap curutu ketembus peluru. Dialah: Teuku Umar.

Perjuangan Umar diteruskan istrinya, Cut Nyak Dhien. Namun, ia menjadi korban cuak. Dengan alasan mengurangi penderitaan Cut Nyak Dhien, seorang panglimanya menghubungi tentara Kompeni. Ia minta agar tokoh Aceh itu ditangkap, asal tak disakiti. Cut Nyak Dhien tertangkap. Dan ia kesal. Sebelum ditahan tentara Belanda, ia menikam dulu panglima yang dianggap sebagai pengkhianat itu. Apa pun motifnya, sang panglima disebut cuak.

Cuak adalah aktor yang telah lama dikenal orang Aceh. Ada anekdot dari abad ke-17. Syahdan, seorang laksamana Prancis, Belebio, mengunjungi Kerajaan Aceh. Ia menjadi tamu pribadi Sultan Iskandar Muda. Selama tiga bulan kunjungannya, Belebio mengamati bahwa selalu saja ada yang datang ke istana, dan "berbisik-bisik" kepada Sultan. Info yang diberikan, menurut Belebio, biasanya menjelek-jelekkan orang, dan mengingatkan Sultan tentang adanya penentang-penentang.

Suatu hari, Belebio bertanya kepada mereka, "Apa kalian tak takut kepada Tuhan?" Dijawab, "Tuhan jauh, Raja dekat." Lantas, Belebio melanjutkan pertanyaan, "Mengapa lapornya mesti pagi-pagi sekali?" Mereka menjawab, bila kesiangan, ada orang lain sudah mendahului menceritakan diri mereka. Berdasar cerita ini, tampaknya budaya lapor-melapor demi kepentingan politik memang sudah ada jauh sebelum era DOM.

Dalam sejarah Aceh, tersebutlah cuak legendaris bernama Panglima Tibang. Menurut Muhammad Gade Ismail, Tibang Muhammad -nama asli si tokoh- adalah Syahbandar Kerajaan Aceh pada pertengahan abad ke-19. Ia dikenal pintar bermain dalupa, seni lawak khas Aceh, yang membuat Sultan tertarik dan sering memanggilnya ke Istana. Kedekatan itu yang membuatnya menjadi syahbandar dengan julukan Panglima Tibang.

Syahbandar, penguasa bea perniagaan dan pelabuhan, adalah orang penting di Aceh. Dengan jabatannya itu pula, Tibang dipercaya Sultan sebagai negosiator dengan Belanda di Singapura pada sekitar 1857. Amanah itu disalahgunakan Tibang. Ia justru memihak Belanda dengan memberikan informasi tentang berbagai hal penting seputar pertahanan Kerajaan Aceh. Berkat "jasa" Tibang, Belanda pun bisa masuk ke Aceh.

Namun, pada awal perang Aceh, cuak yang paling top ialah Teuku Ne' Meuraxa, seorang pejabat daerah Aceh. Pasukan Belanda yang masuk ke Aceh banyak mendapat bantuan Teuku Ne'. Ia memilih memihak Belanda, karena wilayahnya berada di garis depan pertempuran. Memihak Belanda adalah jalan mudah demi meraih kemenangan. Maka ia pun memutuskan menjadi cuak katimbang harus bertempur melawan serdadu Belanda yang persenjataanya lengkap.

Penelitian Gade mengungkapkan pula bahwa pada masa lalu, kebencian atas cuak telah melahirkan tindakan kekerasan, main hakim sendiri. Dalam catatan sejarah, pada 1910 terjadi pembantaian di Tangse, Kabupaten Pidie, terhadap mereka yang dianggap sebagai cuak. Di satu kecamatan saja, tak kurang dari 20 tersangka cuak dibunuh secara sadis.

Cuak adalah aktor-aktor yang tercipta di tengah konflik politik. Pengadilan massa terhadap tersangka cuak mestinya tak boleh terulang pada zaman pascamodern ini, ketika peradaban menjunjung tinggi kedaulatan hukum. Hukum memang harus ditegakkan, segera, sebelum kekerasan massa merebak.
(Nurlis Effendi-Nomor 50/IV, 31 Oktober 1998)