Mereka Urung Perkosa Karena Baru Melahirkan

Selama diberlakukannya daerah operasi militer (DOM) di DI Aceh banyak wanita jadi korban. Meski tidak semua diperkosa saat dibawa ke markas tentara, tapi perlakuan mereka tak kalah seram. Ini yang dialami Asmawati, 45 tahun. Warga Desa Blang Pandah, Kecamatan Tangsi, Kabupaten Piddie –sekitar 20 kilometer dari ibu kota Kabupaten Piddie, Sigli– ini diseret ke markas bersama suaminya ketika baru tujuh hari melahirkan putranya. Berikut penuturan Asmawati kepada Jawa Pos.

Peristiwa menyakitkan itu terjadi sekitar akhir 1990. Saya baru tujuh hari melahirkan anak bungsu saya. Namanya Taufik. Saat itulah, tentara dari pos 125 menyeret saya ke markas. Mereka tak merasa iba meski kondisi saya masih tertatih-tatih dan menyusui itu.

Nasib yang kurang lebih sama juga menimpa suami saya. Dalam waktu yang sama, ia juga diseret seperti binatang. Jika meronta, popor senjata langsung melayang ke wajah Umar, suami saya itu. Kami berdua tak berdaya. Tak bisa berbuat apa-apa kecuali menuruti semua kemauan para tentara itu.

Sebelum pergi, saya melihat seorang tentara menuangkan sesuatu ke dinding rumah. Sepertinya minyak. Maka, saya pun berteriak-teriak agar mereka tak membakar rumah saya. Tapi, mereka tak menggubris dan mengambil korek api. Bres. Api pun melahap rumah kayu saya.

Sesampai di markas, kami dipisahkan dalam kamar tahanan. Di dalam kamar tahanan itu sudah ada 20 wanita. Tidak ada seorang pun yang saya kenal. Mungkin mereka dari daerah lain. Saya sendiri malam itu langsung disiksa dengan tuduhan membantu gerakan pengacau keamanan (GPK).

Kontan, mereka marah dan membentak-bentak karena saya menolak tuduhan itu. Mereka tampak amat jengkel. Disuruhnya saya meletakkan bayi yang saya gendong ke tanah. Permintaan itu pun saya tolak. Taufik tetap saya dekap di gendongan. Saya tak tega, apalagi ia terus menangis.

Mungkin karena jengkel, beberapa tentara langsung melucuti pakaian saya. Bayi digendongan pun ia rebut, lalu direbahkan di atas tikar. Dalam keadaan telanjang itu, saya tak boleh meneteki bayi saya. Mereka malah mendorong-dorong saya menjauh dari bayi yang baru lahir beberapa hari itu.

Hari pertama, selain disiksa, dipukul, saya pun disetrum pada sekujur badan. Tidak hanya itu, mereka juga menjulurkan aliran listrik itu pada kemaluan saya. Betapa sakitnya, apalagi saya baru melahirkan tujuh hari. Para tentara itu tak menghiraukan teriakan-teriakan kesakitan saya. Mereka terus menyetrum. Tentara lain memegangi tangan dan kaki saya. Sampai akhirnya saya lemas dan pingsan.

Tengah malam, sekitar pukul 01.00 WIB dini hari, saya sadar. Mereka langsung menggiring saya ke sungai lalu meredam saya. Saya sangat takut saat itu. Suasana amat gelap. Badan saya menggigil. Rasanya perih. Dalam hati, saya hanya berdoa agar penyiksaan ini segera berakhir.

Dua jam kemudian, tentara memerintah saya kembali ke markas. Mereka memberi saya baju ala kadarnya untuk menutupi aurat. Saya pun diperbolehkan meneteki anak saya.

Hari kedua, penyiksaan tak kalah sadis. Selain dipukuli, saya juga disetrum. Tidak puas, mereka lalu memaksa saya telanjang lagi. Karena saya baru melahirkan (masa nifas), mereka urung memperkosa. Sebagai gantinya, salah seorang tentara meminta barangnya di ... (oral seks). Saya tidak tahan diperlakukan seperti binatang. (Asnawati lantas menangis tersedu-sedu dan tidak mampu meneruskan ceritanya). Saya tidak mampu menjelaskan.

Hari ketiga dan seterusnya penyiksaan berlangsung seperti biasanya. Tapi, mereka tetap mengizinkan saya meneteki bayi. Hari-hari menyedihkan terus saya alami dari hari ke hari. Dan, itu berakhir setelah mereka membebaskan saya, 29 hari kemudian. Tapi, sampai kapan pun, tak mungkin saya melupakannya. Bahkan, sampai kini, saya masih trauma. Jika bertemu orang berbaju doreng, badan saya gemetaran.

Suami saya, Umar, sampai sekarang tidak pernah saya ketahui. Padahal, ia ditahan sejak delapan tahun lalu. Saya tak tahu, ia masih hidup atau mati. Kalau hidup, di mana berada; kalau sudah mati, di mana kuburannya. Rasanya, saya tidak kuat menanggung beban hidup ini. (Kembali mata Asnawati berkaca-kaca).

Kami, korban operasi militer di Aceh, mengharapkan pemerintah bertindak tegas. Menyeret, mengadili, dan menyantuni kami-kami ini yang tidak punya harta lagi. Sebab, rumah satu-satunya juga dibakar tentara. Bagaimana sakitnya hati kami, belum lagi suami saya yang tidak jelas nasibnya.

Setiap hari saya harus membanting tulang menjadi buruh tani guna menghidupi tujuh anak saya. Bahkan, sebagian terpaksa tidak bisa melanjutkan sekolah karena tidak ada biaya. (Bahari)
[Jawa Pos/07/09/'98]