''Dalam Sehari, Ayah dan Dua Kakak Saya Didor...''

Masa-masa Aceh menjadi daerah operasi militer (DOM) adalah masa-masa kelam daerah itu. Ratusan, bahkan ribuan, keluarga menderita karena sanak keluarganya disiksa dan dibunuh. Tidak jelas lagi, siapa yang GPK dan siapa yang memburu GPK. Yang jelas, rakyat biasalah yang jadi korban.

Nasib tragis juga dialami Fatimah bin Benzen, 22 tahun, warga Desa Pulo Tambo, Tiro-Truseb, Pidie, yang merasakan betapa pedihnya kehilangan ayahnya, Benzen Deden, dan dua kakaknya, Marzuki Benzen dan Rajali Benzen. Ketiganya ditembak di depan orang kampung. Berikut penuturan Fatimah saat ditemui Jawa Pos di rumahnya, sekitar 30 kilometer dari Sigli, ibu kota Kabupaten Pidie.

Saya masih ingat kejadian itu meski terjadi tujuh tahun lalu. Tepatnya 22 April 1991, sekitar pukul 07.00 WIB. Rasanya baru kemarin itu semua terjadi. Ketika itu datang beberapa orang berseragam tentara, doreng-doreng, ke rumah kami. Mereka langsung menodongkan senjata kepada Ayah serta dua Kakak saya. Mereka lalu menggiring ke meunasah (surau) sekitar 20 meter dari rumah kami. (Fatimah pun menunjuk ke arah surau). Mereka juga mengumpulkan semua penduduk kampung.

Setelah kumpul, mereka dipilah-pilah. Ayah dan dua Kakak saya disendirikan. Tentara lalu menarik tiga keluarga saya itu ke rumah seorang penduduk, Pak Ziad, dekat meunasah, untuk dimintai keterangan. Selama satu jam mereka berada dalam rumah. Di dalam rumah itu mereka melakukan penyiksaan. Itu terbukti, begitu keluar, sekujur tubuh Ayah dan dua Kakak saya bengkak-bengkak.

Setelah itu, Ibu dan saya disuruh pulang. Mereka bilang kalau nanti sudah selesai, kami akan dipanggil. Saya sendiri tidak tahu apa yang mereka maksudkan sudah selesai. Jangankan bertanya, melihat saja tidak berani karena tentara selalu membentak jika ada penduduk yang berani menatap. Kami dan semua orang kampung memang tidak berani melirik, apalagi melihat. Kami pun langsung pulang, tapi tidak tenang. Sebab, firasat kami jelek karena selama ini orang-orang yang ditahan selalu berakhir pulang hanya nama.

Benar dugaan kami. Satu jam kemudian terdengar letupan senjata beberapa kali. Saya serta Mama langsung bergegas ke arah bunyi letupan itu. Benar, Ayah serta kedua Kakak saya terlihat berlumuran darah tergeletak di halaman depan meunasah. Mama, termasuk saya, menangis histeris melihat pemandangan mengerikan itu. Tentara itu menembak Ayah dan dua Kakak saya di pelipis kanan. (menuturkan ini mata Fatimah berkaca-kaca).

Penduduk kampung disuruh membawa ketiga mayat itu ke dekat meunasah. Ketika di pembaringan itulah saya masih mendengar suara Ayah. Dia masih bisa berbicara kepada Mama saya. Intinya, Ayah menitipkan ketiga anaknya; Husaeini, 27 tahun, Fatimah, 22 tahun, dan Ajenah, 19 tahun, agar dirawat baik-baik. Mama sambil terus terisak hanya bisa mengangguk. Saya yang ikut memangku Ayah hanya bisa melongo sambil tersedu-sedu.

Rupanya, tentara-tentara itu segera tahu Ayah masih hidup. Mereka langsung menyuruh minggir saya dan Mama. Dengan sadisnya seorang di antara mereka meletakkan moncong senjata ke mulut Ayah. Begitu pelatuknya ditarik, door.. , Ayah langsung menggelepar, kami berdua pun histeris. Mama mulai tidak tahan, lalu pingsan. Saya sendiri mencoba menguatkan diri sambil memangku kembali jenazah Ayah yang berlumuran darah.

Penduduk yang dipaksa menyaksikan semua adegan itu banyak yang menitikkan air mata. Jika tidak menatap, mereka sendiri yang kena popor senjata. Namun, mereka tak bisa berbuat banyak lantaran takut. Baru setelah diperintahkan menguburkan, penduduk bergegas mengangkat ketiga jenazah. ''Sudah. Giliran kamu kuburkan,'' teriak seorang tentara, sambil ngeloyor pergi meninggalkan penduduk kampung yang masih ketakutan.

Saya mencoba tabah, bahkan semua pakaian berlumuran darah yang melekat di baju Ayah, dan dua Kakak, saya sendiri yang mencuci. Rasanya, hati ini teriris-iris melihat kebrutalan tentara. Kami memeras darah dari pakaian untuk dicuci. (Mata Fatimah kembali berkaca-kaca, sedangkan seorang iparnya, istri kakaknya, almarhum Rajali, yang ikut mendampingi selama wawancara, terus menutupi wajahnya dengan selendang sambil menitikkan air mata. Dia tidak tahan membayangkan suaminya disiksa sebelum akhirnya ditembak).

Kejadian itu benar-benar tidak terlupakan selama hidup saya sekaligus trauma jika terus mengingatnya. Dalam satu hari tiga keluarga saya dihabisi. Mama pun tidak tahan dan mengungsi ke rumah paman untuk menenangkan diri. Sampai sekarang kalau melihat orang memakai baju doreng sontak muncul perasaan aneh dalam benak saya. Waswas, gemas, jengkel, bahkan ingin memukul mereka. Mereka benar-benar bajingan dan sangat kejam. Kalau lihat yang berwarna merah, termasuk gincu, pun ingatan saya langsung kembali ke peristiwa tujuh tahun silam. Pokoknya, saya benar-benar trauma.

Untuk itu, kami minta mereka yang berbuat kejam kepada keluarga saya harus dihukum. Mereka sudah menghancurkan keluarga kami. Padahal, kami bukan GPK seperti yang dituduhkan tentara. Mereka hanya mengada-ada untuk menghabisi tiga keluarga saya. Tolong, pemerintah dan ABRI mengerti perasaan kami, orang-orang yang teraniaya. Pokoknya, pemerintah dan ABRI harus menghukum pelaku penembakan keluarga kami.