Duka Orang Aceh

Sekitar sembilan tahun dalam dukacita dan kecemasan,  bukanlah hari-hari yang pendek. Tapi siapa pun yang tampil  jadi _sutradara tangan besi_, orang Aceh tetap punya  pendirian yang tidak goyah. Siapa pun yang mengantar kematian ke daerah Serambi Makkah itu, orang Aceh masih  mampu tetap berjiwa pahlawan. Namun, banyak cara membujuk  orang Aceh jadi teman baik, tapi jelas bukan dengan senjata. Adalah contoh yang masih bernyanyi-nyanyi secara  indah, ketika penjajah mengerasi mereka dengan senjata. Mereka tampil bersama-sama membuang segala beban  penindasan itu dengan segala tekad dan kepahlawanan.

Aceh adalah Aceh yang dulu. Sebagaimana mampu mengatakan  tidak kepada penjajah, juga sanggup menyatakan ya kepada  republik. Bukankah sebelum ada orang yang berpikir, mereka telah membuat. Atau selamanya orang tidak pernah berpikir  ke arah itu, mereka telah melakukannya. Contohnya, dalam suatu masa sulit, masih di awal perjalanan republik ini,  mereka telah mengukir prestasi, menyumbangkan pesawat  terbang untuk negara. Pesawat yang pantas dianggap  cikal-bakal Garuda Indonesian Airways.

Karena tekad mempertahankan harga diri, Aceh pernah  melahirkan banyak pahlawan. Tidak cuma Teuku Umar dan Cut  Nyak Dien, tapi banyak tokoh yang abadi di hati rakyat, baik yang diakui sebagai pahlawan atau pun yang belum. Tersebutlah nama Cut Meutia, Teungku Cik Ditiro, Ali  Munghayat Syah, Iskandar Muda, Syekh Syamsuddin  el-Sumatrani, Sultan Muhammad Syah dan lain-lain.

Penganiayaan Lisan

Ketika etnis Aceh masih belum sembuh dari seperangkat  dukacita yang paling mengiris, jangan hendaknya  dilanjutkan dengan penganiayaan-penganiayaan lisan. Ketika  seonggok bayangan angker masa lalu belum menghilang dari ingatan, tak perlu suara-suara yang menyakitkan hati  mereka. Meskipun tak tertutup kemungkinan kebenarannya,  tapi tak layak menyebut-nyebut bahwa ada kuburan massal di  Aceh ternyata pemakaman korban GPK (Gerakan Pengacau Keamanan). Dan sangat menyakitkan hati mereka sekiranya disangkutpautkan dengan pemberontak G-30-S/PKI yang  dihakimi massa.

Meskipun tidak tertutup kemungkinan terhadap berbagai  dugaan, tapi mereka yang merasa kehilangan anggota  keluarga di luar asumsi itu akan semakin menjeritkan batin  di tengah ratap tangis yang belum reda. Sudah barang tentu, tidak satu-dua isteri yang kehilangan suami,  menganggap kejadian itu korban ketidak-adilan. Korban kesewenang-wenangan. Korban fitnah dan adu domba. Korban  masalah pribadi, kemudian dituduh anggota GPK, lalu tamatlah riwayatnya. Betapa sedihnya, sekiranya pertikaian  dalam masalah irigasi, lalu menghilang karena dugaan pengkhianat.

Maka, untuk melestarikan kejernihan di Aceh, akhiri  penganiayaan lisan yang tidak akan mewujudkan persatuan  dan kesatuan. Kalau tidak terhindarkan juga, sebut  siapa-siapa pemberontak G-30-S/PKI, dan yang mana kuburan  massalnya. Dengan demikian tidak termasuk korban pembantaian lainnya yang telah terjadi di Aceh. Perlu  diingat pula, dan demi persatuan dan kesatuan, tak ada etnis Aceh yang merasa senang disebut GPK.

Dan GPK itu belum begitu jelas di hati khalayak. Apakah tidak lebih dahsyat apa yang terjadi Mei lalu? Mengorbankan harta dan nyawa yang begitu besar. Kenapa sampai hari ini orang-orang yang menggerakkan kejadian  itu belum ada yang disebut GPK? Kenapa penembak mahasiswa  Trisakti juga tidak disebut-sebut GPK? Ataukah GPK itu hanya ada di Aceh, Irian Jaya dan Timor Timur?

Jika telah ingin belajar dari sejarah, dan bertekad  berkata secara jujur sudah tidak masanya lagi menganut  ucapan-ucapan yang menyudutkan yang merenda kecemasan  bercampur dengan kabut kesangsian. Dan di Aceh, bicara dalam bisikan yang lemah lembut, lebih bermakna ketimbang  bahasa peluru. Pendekatan yang mewujudkan kekitaan, lebih  berarti dari membuat mereka bersalah sepanjang hidup.

Dendam Membara

Tapi juga, orang yang merasa pernah dikerasi, buanglah  beban dendam membara. Meskipun era - reformasi belum mampu menciptakan tertawa yang girang menggema, tapi terbawa arus oleh dendam berkepanjangan sama dengan hidup di tengah penyakit batin yang kronis. Bukankah sakit hati hanya jadi derita orang yang mengalaminya? Bukankah orang beriman selalu menghadapi banyak cobaan?

Hindarkan huruf-huruf caci-maki yang berlompatan dari  antara bibir. Tapi sambutlah keheranan ini dengan  kegembiraan dan secercah harapan. Munculnya era -  reformasi anggaplah kemenangan. Meskipun baru menampakkan kemenangan kecil dan sederhana, namun penting juga. Karena  segalanya telah terjadi, dan tidak punya pilihan lain,  anggaplah apa yang terjadi masih dalam batas-batas  takdir. Bukankah hanya Allah swt yang memiliki Kun fa-Yakuun?.

Tak perlu terlalu banyak menduga-duga karena sejumlah  dugaan adalah dosa. Biarpun kepada Ibrahim Hasan yang  pernah jad1 Gubernur Aceh. Memang sepintas lalu, tidak  meleset orang yang menduga karena laporannya yang mengatakan tidak aman, Aceh jadi Daerah Operasi Militer  (DOM). Tapi perlu diingat setiap pejabat saat itu harus mampu jadi perpanjangan tangan _raja yang lalim_.

Setidaknya, kalau ia dianggap salah tentu bukan sendirian  dalam kesalahan itu. Kenapa wakil rakyat tidak ngomong  memberi sanggahan. Barangkali pula karena ada masukan dari  orang paling berkompeten menilai masalah keamanan. Semua itu telah berlalu. Tidak masanya lagi menduga orang-orang  terkait, sampai akhirnya Ibrahim Hasan melaporkan Aceh  tidak aman.

Aceh, daerah yang mengandung potensi alam yang kaya masih mampu melambangkan masa lalunya yang jaya. Tapi untuk  menuju masa depan yang indah mereka perlu dirangkul dengan rasa persaudaraan yang hangat. Mereka perlu bimbingan,  bukan todongan. Mereka perlu suara ulama-ulama yang berwibawa, bukan yang pernah _terbeli_ orde baru. Mereka adalah saudara senegara, dan musuh penjajah. Tidak layak rasanya memusuhi mereka, selain oleh penjajah Belanda.

Penuh Persahabatan

Etnis Aceh yang basah oleh darah dan airmata, pantas  mengakhiri dukacitanya. Era - reformasi telah terbit. Setiap orang hendaknya membaur di tengah khalayak, untuk  memandang yang belum pernah dilihatnya, atau melihat yang  sudah lama tak dipandangnya. Sekarang sudah tak ada suara-suara keras di muka pintu. Iklim di luar rumah telah  damai kembali. Penuh persahabatan, teduh dan tenang.

Cuma, bagaimana mereka yang telah jadi korban? Ayah yang  telah hilang, anak pun otomatis ikut tersiksa. Bagaimana  kesehatannya, sekolahnya dan biaya hidupnya memandang masa  depan. Meskipun seorang ibu yang ditinggalkan suami yang  menghilang, bertekad takkan membiarkan diri dan anaknya  terpeleset, tapi apa yang akan dikatakannya ketika anak yang mengerang sakit minta nasi dan bubur?

Ketika krisis moneter sedang melanda, menjajah negeri ini  yang punya suami pun ada yang tercengang saat anaknya  menjerit minta sepiring nasi. Dan alangkah sakitnya bagi  seorang wanita yang masih tertekan batin menghidupi  anak-anaknya dengan mengandalkan kerja serabutan. Sebagai  orang berimam, ia tidak akan mampu berhenti memperdulikan  anak-anaknya. Tapi kenyataan yang cukup berharga untuk  diingat, ia hanya mampu menangis, mengadu ke haderat Allah  swt tentang ketidakadilan dunia.

Barangkali pemerintah perlu menyantuni keluarga korban,  dan mereka yang masih hidup. Kalau Aceh benar-benar Daerah  Istimewa, barangkali keistimewaan itu sudah saatnya terasa  bagi khalayak. Umpamanya, gratis berobat di Puskesmas dan  Rumahsakit, serta gratis belajar dari TK sampai dengan  Perguruan Tinggi. Ditambah lagi dengan santunan-santunan lainnya. Barangkali anak-anak yang ayahnya menghilang tenggelam dalam rawa-rawa sejarah, dapat hidup secara  wajar. Cara demikian tentunya upaya mengobati duka orang Aceh. Dan jelas lebih baik, ketimbang hanya minta maaf  yang penuh basa-basi.

Rabu, 9 SEPTEMBER 1998 Abdul Muis Nasution