KOMNAS HAM TEMUKAN TUJUH KERANGKA DI SEBUAH KUBURAN MASSAL

Teka-teki adanya ladang pembantaian di Aceh, terungkap setelah tim Komnas HAM sukses membongkar kuburan massal dan menemukan dua kerangka manusia korban pembantaian di tepi pantai Kuala Tari Pasi Lhok, Kembang Tanjung, Pidie, Aceh Jumat (21/8). Sementara di Trienggadeng, Pidie, tim ini juga menemukan lima kerangka manusia dikubur bersama.

Wartawan Waspada yang ikut melakukan investigasi bersama tim Komnas HAM di bawah pimpinan Sekjen Baharuddin Lopa melaporkan suasana pembongkaran kuburan massal di dua desa itu mendapat reaksi dari ribuan masyarakat Kabupaten Pidie. Bahkan, satu hari sebelum tim datang (Kamis malam) sejumlah penduduk menjaga ekstra ketat beberapa lokasi kuburan massal di Kembang Tanjung. "Kami khawatir kuburan ini dibongkar oleh oknum yang ingin menghilangkan bukti-bukti pembunuhan yang pernah mereka lakukan," kata penduduk disitu kepada Waspada.

Kepada tim Komnas HAM, para saksi mata di Desa Pasi Lhok Kembang Tanjung menerangkan bahwa di sekitar pantai Kuala Tari itu ada 80 mayat ditanam oleh oknum ABRI setelah mereka terlebih dahulu disiksa habis-habisan. Kemudian, kata saksi kepada Baharuddin Lopa dan Kusparmono Ichsan, yang terlibat aksi pembantaian di daerahnya, selain oknum Kopassus, juga ada personil dari Batalyon non organik Aceh, oknum di Kodim Sigli dan oknum Brimob. "Salah seorang dari mereka sekarang jadi Provost di Kodim Pidie," sebut saksi.

Pembongkaran kuburan massal pertama di Kembang Tanjung dimulai pada pukul 09:30 sampai 13:30. Di bawah sengatan matahari dan udara laut (lokasi sekitar 200 meter dekat pantai) masyarakat dengan sukarela mengorek kuburan keganasan oknum ABRI yang selama bertahun-tahun tidak boleh diusik oleh siapapun. Sementara beberapa orang wanita yang mencari suami, anak, ataupun keluarganya yang pernah diculik karena dituduh terlibat GPL Hasan Tiro, tak henti-hentinya menangis sambil memperhatikan dua bungkusan karung plastik yang berisikan kepingan tulang manusia. "Kalau benar suami saya meninggal, tolong tunjukkan dimana kuburannya. Ini sepertinya bukan suami saya," kata seorang ibu muda didampingi adik perempuannya.

Menurut analisis sementara, sebelum meninggal korban mengalami penyiksaan beruntun karena tengkorak kepalanya retak dan bolong seperti bekas ditembus peluru senjata api. Begitupun, tim forensik dari Poldasu yang ditanya Waspada belum berani menyimpulkan sebab-sebab kematian korban karena belum melewati proses laboratorium. Pada bungkusan kerangka mayat pertama (panjang 53 cm) yang dibongkar pada kedalaman 17 cm oleh tim Komnas HAM ditemukan baju kaos putih oblong. Usia korban diperkirakan 18 sampai 25 tahun kerena giginya masih utuh dan tersusun rapi. Namun alamat dan keluarganya belum diketahui.

Sedangkan pada bungkusan kerangka mayat kedua (panjang 63 cm) yang dibongkar pada kedalaman 43 cm ditemukan celana dalam warna merah, ikat pinggang hitam, dan dompet loreng. Diduga sebelum meninggal korban matanya ditutup dengan kain hitam. Pada bagian tulang dasar mata berlubang lebih kurang 5 cm, kepalanya dipukul benda keras dan ditembak hingga tembus ke bagian belakang. Organ tubuh kedua mayat itu masih lengkap dan jarak tanam antara keduanya yaitu sekitar 44 cm.

Puluhan mayat terseret ke laut

Para saksi mata di tempat itu mengatakan hilangnya sebagian mayat manusia korban pembantaian di Pasi Lhok diduga terseret ke laut setelah terjadi gelombang pasang "Purnama" pada tahun 1993. Sedangkan aksi pembantaian, menurut saksi kepada tim Komnas HAM, mulai terjadi pada tahun 1990, satu tahun setelah di Aceh digelar operasi "Jaring Merah".

Mereka, katanya, sering dituduh terlibat GPK meski para oknum itu tanpa memperlihatkan bukti-bukti. "Kalau seseorang tidak senang dengan saya, misalnya, kemudian dia memanfaatkan oknum ABRI dan mengatakan saya terlibat GPK (GPL) pasti langsung diambil. Begitulah suasananya waktu itu, gampang saja mereka menghilangkan nyawa orang, tambah seorang saksi di Kembang Tanjung kepada Waspada.

Masyarakat lain mengatakan, pada tahun-tahun itu mereka sering melihat oknum ABRI membawa mayat-mayat yang diduga dari Aceh Utara atau Aceh Timur di pantai Pasi Lhok. Malahan, masyarakat nelayan yang kebetulan memergoki mereka sedang menggali tanah, langsung diusir dan ditendang agar menjauh. Kawasan ini, kata penduduk itu, sempat diisolir oleh oknum ABRI. "Siapapun dilarang melihat lokasi ini," katanya sambil menunjuk lokasi kuburan massal.

Mayat Di Trienggadeng

Di Trienggadeng, Pidie Jumat sore Komnas HAM membongkar kuburan massal dan menemukan lima kerangka yang dikubur dalam satu lubang. ''Kita hanya bongkar satu saja karena untuk sampel barang bukti,'' kata Baharuddin Lopa.

Menurut saksi mata, kelima korban yang dikubur dalam satu lubang itu bernama Tgk. Ismail, Muniruddin, Armia, Ibrahim dan M.Yusuf. Pada tahun 1991 sekitar pukul 22:00 WIB, lima warga Ulegle, 20 km lebih dari Trienggadeng, ditembak oleh oknum ABRI di Desa Dayah Teumanah dengan kondisi lima jari korban diikat jadi satu di tiang rumah panggung milik Tgk. Abdulrahman. Setelah itu mereka dibiarkan sampai akhirnya dikuburkan secara massal oleh penduduk. Menurut Zainuddin, anak kandung korban Tgk. Ismail yang mayatnya digali tim Komnas HAM, ayahnya dijemput oknum ABRI saat jaga malam pada tahun 1993, sedangkan abang kandungnya pada tahun 1990 juga diambil petugas dan tidak pernah ada kabar hingga sekarang.

20 Hari setelah kematian lima korban itu, kata saksi, sipemilik rumah Abdulrahman menyusul giliran ditembak dan rumahnya dibakar oleh oknum ABRI saat melaksanakan doa di salah satu kuburan Aulia Cot Bayu. Suasana pembongkaran kuburan massal di Trienggadeng, menurut pantauan Waspada, sejak pagi sudah ditunggu oleh masyarakat di situ. Para penduduk kelihatannya begitu antusias melihat bukti nyata dari perlakuan tidak manusiawi yang pernah dilakukan selama daerah ini menjadi daerah operasi militer (DOM).

Tim Komnas HAM dipimpin Baharuddin Lopa, dengan anggota Mayjen (Purn) Kusparmono Ichsan, SH, MM, MBA, Mayjen (Purn) Sugiri, SH dan Salim, SH, setelah dari Kabupaten Pidie direncanakan menuju Aceh Utara dan Aceh Timur untuk melihat kuburan lainnya.

Danrem Harus Jelaskan tentang Orang "Dibuang"

Sembilan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Badko HMI Aceh minta Komandan Pusat POM ABRI di Jakarta, segera mengusut tuntas berbagai kasus penculikan, penyiksaan, pembunuhan, dan pemerkosaan serta orang hilang di Aceh. Sedangkan Danrem 011/Lilawangsa Kol Inf Dasiri Musnar yang dinilai bertanggungjawab terhadap kasus-kasus itu, termasuk pembuangan empat pria di Syamtalira Bayu-Geudong, Rabu (12/3) malam lalu (Serambi, 16/8), diminta menjelaskannya secara terbuka kepada masyarakat.

Penegasan itu disampaikan para aktivis LSM Aceh dalam siaran persnya, bertepatan dengan Peringatan Proklamasi 17 Agustus 1998 yang dikirim ke Serambi, kemarin. "Selaku komandan operasi, Dasiri harus segera menjelaskan secara terbuka kepada rakyat mengenai identitas empat pria tersebut," kata Otto Syamsuddin Ishak yang juga Direktur Cardova, Banda Aceh. Kesembilan LSM itu adalah, Drs Otto Syamsuddin Ishak (Cardova), Afrizal Tjoetra (Forum LSM Aceh), Abdurrahman Yacob SH (YLBHI Aceh), Rahmadhana Lubis (Walhi Aceh), Bakti Siahan SH M Hum (LEuHam), Iqbal Farabi (Kontras Aceh), J Kamal Farza SH (YAB), Aguswandi (SMUR) serta Maimul Fidar (CDI). Sementara itu tanggapan serupa juga disampaikan Irwan SE, Staf Ketua Badko HMI Aceh, sebelum bertolak ke Jakarta, mengikuti Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Tingkat Nasional PB-HMI.

Siaran pers LSM se-Aceh tersebut berisikan lima tuntutan yaitu, Panglima ABRI harus memberikan klarifikasi kepada rakyat atas peristiwa tersebut sebagai penanggungjawab keamanan di Indonesia. Kedua, Pangdam I/BB bertangungjawab atas janji keamanan terhadap para korban khususnya dan rakyat Aceh umumnya, dan segera memberikan klarifikasi para rakyat di Aceh. Ketiga, peristiwa pembuangan empat orang pria yang diduga korban dari ekses pemberlakuan DOM di Aceh, sepenuhnya tanggungjawab Kol Inf Dasiri Musnar.

"Selaku Danrem 011/Lilawangsa, Dasiri harus memberikan klarifikasi atas peristiwa itu," kata Otto Syamsuddin Ishak. Keempat, para pejuang HAM Aceh ini juga minta Danpus POM ABRI Jakarta, untuk mengusut tuntas berbagai perbuatan yang selama ini terjadi di Aceh. Kelima, Gubernur Aceh dan Bupati Aceh Utara juga ikut bertanggungjawab untuk mengklarifikasi pelanggaran HAM terhadap keempat korban tersebut. Seperti diberitakan harian ini, empat pria yang hanya mengenakan celana dalam dengan kondisi fisik dan psikis yang buruk, serta tanpa identitas apapun, Rabu (12/3) pukul 21.00 WIB "dibuang" dari sebuah mobil jip di dua lokasi di tengah jalan raya Banda Aceh-Medan antara kawasan Syamtalira Bayu-Geudong, Aceh Utara. Seorang di antaranya, Kamis menjelang pagi tewas ditabrak sebuah mobil saat menyeberang jalan beberapa jam setelah diberi makan dan tempat mengaso oleh penduduk.

Peristiwa penuh misteri tersebut disaksikan sejumlah warga Desa Bunot Bayu dan warga Geudong. Warga setempat menduga, keempat pria korban "buangan" itu korban penculikan alias orang hilang yang telah mengalami penyiksaan berat dan keburu dilepas menjelang penarikan pasukan keamanan non organik dari Aceh. Beberapa warga sekilas melihat paling sedikit ada empat oknum dalam mobil yang mirip Jeep Land Rover dan tak jelas plat nomor polisinya itu. Setelah membuang "muatan" berupa empat anak manusia itu mobil meluncur kembali di jalan raya menuju arah timur Lhokseumawe.

Kontradiksi

Menanggapi peristiwa itu, sembilan LSM Aceh tersebut berkesimpulan, empat pria itu merupakan realitas telah terjadinya praktik kontradiksi antara apa yang diucapkan Presiden RI BJ Habibie dan Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto dengan kenyataan di lapangan. "Pak Habibie telah minta maaf dan menyatakan ada pelanggaran HAM di Aceh. Pak Wiranto juga sudah minta maaf dan menyerahkan sepenuhnya keamanan daerah ini kepada rakyat Aceh. Namun, adanya kejadian tersebut merupakan bukti konkret adanya kebijakan ganda di tubuh ABRI terhadap pelanggaran HAM di Aceh," kata Bakti Siahaan.

Agar tidak terus berlanjut, para aktivis LSM dan Badko HMI Aceh dalam waktu dekat akan mengirim surat ke Presiden dan Menhankam/Pangab, menyusul masih adanya indikasi gerakan kontra intelijen di Aceh. "Kebetulan kami akan beraudiensi dengan Gubernur Lemhanas dan Kasospol ABRI. Saya akan diskusi mengenai peristiwa tersebut," kata Irwan.

Dari Lhokseumawe dilaporkan, satu mayat "orang buangan" yang "disimpan" di kamar jenazah RSU Lhokseumawe sejak Jumat malam lalu, kemarin dikuburkan secara Islam atas inisiatif pimpinan RSU setempat karena tak seorang pun masyarakat mengenali mayat itu. Syukri, Kabag Tata Usaha RSU Lhokseumawe yang dihubungi Serambi mengatakan tidak mungkin lagi menyimpan terus mayat yang mulai membusuk itu. Karenanya, itu pimpinan RSU minta dilakukan penguburan dan semua biayanya mencapai Rp 300.000 menjadi beban RSU. Mayat itu dikuburkan di kawasan pemakaman umum Kuta Blang.

FREE GALLERY! FREE LOGOS!